PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 82/PMK.03/2009
TANGGAL 22 APRIL 2009
TENTANG
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI
PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4
AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26
ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008,
atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali yang
diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan Pasal 26 ayat
(3) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan dari Penjualan Atau Pengalihan Harta Di
Indonesia, Kecuali yang Diatur Dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN
DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM
PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajb Pajak Luar
Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat
final.
(2) Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang
berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari
harga jual.
(4) Penjualan atau pengalihan harta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan atau pengalihan harta
berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik,
lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Pasal 3
(1) Penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal
26 oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib Pajak
Luar Negeri selaku penjual diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
26.
(2) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar
Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan
harta yang besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk
setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 4
(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib memotong dan menyetorkan
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar
Negeri yang menjual atau mengalihkan harta paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi pada Kantor Pos atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(2) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan
Pasal 26 yang dipotong kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama tanggal 20
(dua puluh) bulan berikutnya.
(3) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
ini dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 5
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penunjukan pemotong, tata cara pemotongan, penyetoran dan
pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
Pasal 6
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 22 April 2009
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 139/PMK.03/2010
TANGGAL 11 AGUSTUS 2010
TENTANG
PENENTUAN KEMBALI
BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI
PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK
DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18
ayat (3d) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 diatur bahwa besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan
perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau
sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam
bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18
ayat (3e) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penentuan
Kembali Besarnya Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dari Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan
Lain yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PENENTUAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI
HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK
BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Hubungan Istimewa adalah hubungan
istimewa sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
atau hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara
mitra yang berlaku.
Pasal 2
(1) Besarnya penghasilan yang diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan,
atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan
di luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan
seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya
kepada perusahaan di luar negeri tersebut.
(2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai dari perusahaan di luar
negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja.
(3) Biaya atau pengeluaran lainnya yang
dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan luar negeri
yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa biaya atau pengeluaran
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.
Pasal 3
(1) Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan kembali dengan memperhatikan
tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang bersangkutan.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah penjumlahan dari penghasilan Wajib Pajak yang diterima di
Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar negeri.
(3) Besarnya selisih penghasilan setelah
ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi
jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi
kerja kepada perusahaan di luar negeri yang terdapat Hubungan Istimewa.
(4) Atas penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang sudah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menjadi dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(5) Dalam rangka menentukan kembali besarnya
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pedoman standar gaji
karyawan asing.
Pasal 4
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 11 Agustus 2010
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 11 Agustus 2010
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 385
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 258/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18 AYAT (3c) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26
ayat (2a) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh
persen) dari perkiraan penghasilan neto;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 26
ayat (3) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham Sebagaimana
Dimaksud Dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN
DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18 AYAT
(3c) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
LUAR NEGERI.
Pasal 1
(1) Penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara (special purpose company atau conduit company), dapat
ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia, atau penjualan atau pengalihan bentuk usaha
tetap di Indonesia.
(2) Perusahaan antara (special purpose
company atau conduit company) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perusahaan antara (special purpose company atau conduit company) yang dibentuk
untuk tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven
Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3) Atas penghasilan dari penjualan atau
pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong Pajak Penghasilan
sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(4) Besarnya perkiraan penghasilan neto
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari
harga jual.
(5) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) adalah bersifat final.
(6) Terhadap penjual yang berstatus sebagai
Wajib Pajak Luar Negeri yang merupakan penduduk dari negara yang telah
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia,
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dilakukan apabila hak
pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.
Pasal 2
(1) Penghasilan dari penjualan atau
pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) kepada Wajib Pajak
Dalam Negeri, dipotong pajak oleh pembeli Wajib Pajak Dalam Negeri dan kepada
Wajib Pajak Luar Negeri tersebut diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
(2) Dalam hal saham dibeli oleh Wajib Pajak
Luar Negeri, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pihak yang ditunjuk sebagai pemungut
pajak adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yang sahamnya
diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa
Efek; dan
b. badan sebagaimana dimaksud pada huruf a
harus mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual.
Pasal 3
(1) Pajak yang telah dipotong sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemotong Pajak Penghasilan paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(2) Pemotong Pajak Penghasilan wajib
melaporkan pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(3) Pajak yang telah dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemungut Pajak Penghasilan paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan.
(4) Pemungut Pajak Penghasilan wajib
melaporkan pajak yang telah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam
Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
Pasal 4
Pemotong
Pajak Penghasilan dan/atau pemungut Pajak Penghasilan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 5
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-16/PJ/2011
TANGGAL 6 JUNI 2011
TENTANG
TATA CARA
PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK BENTUK USAHA TETAP ATAS PENANAMAN KEMBALI PENGHASILAN
KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
14/PMK .03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak
Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemberitahuan Wajib Pajak
Bentuk Usaha Tetap Atas Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
TATA CARA
PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK BENTUK USAHA TETAP ATAS PENANAMAN KEMBALI PENGHASILAN
KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK.
Pasal 1
(1) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang seluruhnya ditanamkan
kembali di Indonesia, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang
melakukan penanaman kembali atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, wajib menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar.
Pasal 2
(1) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (2) meliputi:
a. pemberitahuan secara tertulis mengenai
bentuk penanaman kembali;
b. pemberitahuan secara tertulis mengenai
realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan; dan/atau
c. pemberitahuan secara tertulis mengenai
saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan.
(2) Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha
Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disampaikan dengan
melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau
diperolehnya penghasilan yang bersangkutan dan sedikitnya memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. identitas Wajib Pajak meliputi nama
Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat Wajib Pajak, dan Jenis
Usaha Wajib Pajak;
b. identitas Wajib Pajak luar negeri induk
Bentuk Usaha Tetap meliputi nama Wajib Pajak, Nomor Identitas Wajib Pajak
sesuai ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan, alamat Wajib Pajak
dan Jenis Usaha Wajib Pajak;
c. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan tahun pajak yang
bersangkutan;
d. bentuk penanaman kembali.
(3) Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha
Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disampaikan dengan
melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan
realisasi penanaman kembali dan sedikitnya memuat hal-hal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditambah dengan informasi sebagai berikut:
a. jumlah realisasi penanaman kembali;
b. tahun dilakukan realisasi penanaman
kembali.
(4) Penanaman kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus sudah dilakukan paling lama pada akhir tahun pajak
berikutnya setelah diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
melakukan penanaman kembali berupa penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri,
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai
perusahaan yang baru didirikan, meliputi:
a. identitas perusahaan baru meliputi nama
perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat perusahaan, dan jenis usaha
perusahaan;
b. nomor, tanggal dan nama notaris akte
pendirian perusahaan, beserta foto kopi akte pendirian perusahaan dimaksud;
c. jumlah penyertaan modal pada perusahaan
baru;
d. saat perusahaan aktif melakukan
kegiatan usaha dan/atau saat perusahaan mulai berproduksi komersial.
(6) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
melakukan penanaman kembali berupa penyertaan modal pada perusahaan yang sudah
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham, informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai:
a. identitas perusahaan yang dilakukan
penyertaan modal meliputi nama perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
alamat perusahaan, dan jenis usaha perusahaan;
b. nomor, tanggal dan nama notaris akte penyertaan
modal, beserta foto kopi akte penyertaan modal dimaksud;
c. foto kopi dokumen pendukung yang
relevan apabila tidak terdapat akte penyertaan modal;
d. jumlah penyertaan modal pada perusahaan
yang sudah didirikan; dan
e. saat perusahaan aktif melakukan
kegiatan usaha.
(7) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
melakukan penanaman kembali berupa pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh
Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan
kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai:
a. jenis dan alamat/lokasi aktiva tetap;
b. kuantitas dan nilai/harga perolehan
aktiva tetap;
c. bukti kepemilikan atas aktiva tetap;
d. nomor dan tanggal perjanjian pembelian
aktiva tetap; dan
e. foto kopi bukti kepemilikan atas aktiva
tetap dan perjanjian pembelian atas aktiva tetap dimaksud.
(8) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
melakukan penanaman kembali berupa investasi dalam bentuk aktiva tidak berwujud
oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau
melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi mengenai:
a. jenis aktiva tidak berwujud;
b. nilai investasi aktiva tidak berwujud;
dan
c. foto kopi dokumen pendukung mengenai
investasi dalam bentuk aktiva tidak berwujud.
(9) Saat perusahaan aktif melakukan kegiatan
usaha dan/atau saat perusahaan mulai berproduksi komersial sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf d, harus diberitahukan paling lama pada akhir tahun pajak
berikutnya setelah tahun dilakukan realisasi penanaman kembali.
Pasal 3
(1) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau oleh pihak lain yang diberi
kuasa oleh Wajib Pajak.
(2) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pihak lain yang diberi kuasa oleh
Wajib Pajak, harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a disampaikan dengan melampirkan pemberitahuan tersebut
pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan yang bersangkutan.
(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c disampaikan dengan melampirkan
pemberitahuan tersebut pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak
berikutnya setelah diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) wajib dilakukan Wajib Pajak minimal dalam 3 (tiga) tahun
berturut-turut sejak tahun realisasi penyertaan modal, perolehan aktiva tetap,
atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak harus menyampaikan
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) secara lengkap.
(2) Dalam hal pemberitahuan tidak
disampaikan atau tidak diisi secara lengkap, maka Wajib Pajak Bentuk Usaha
Tetap yang bersangkutan dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk dikecualikan
dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan
Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap.
(3) Dalam hal pemberitahuan yang disampaikan
oleh Wajib Pajak tidak diisi secara lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
penerima pemberitahuan tersebut memberitahukan secara tertulis kepada Wajib
Pajak tentang kekurangan dalam pemberitahuan tersebut.
(4) Wajib Pajak dapat membetulkan atau
melengkapi pemberitahuan tersebut selambat lambatnya 1 (satu) bulan sejak
tanggal pemberitahuan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tersebut dikirim.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan
atau melengkapi pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), maka atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
Pasal 5
Bentuk
Pemberitahuan Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak
Bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 6
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 6 Juni 2011
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD
RAHMANY
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-24/PJ/2010
TANGGAL 30 APRIL 2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ./2009 TENTANG TATA CARA
PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka memberikan kepastian dalam penerapan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang
Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER-61/PJ/2009 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA.
Pasal I
Ketentuan
Pasal 4 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang
Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Dokumen SKD yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II
[Form-DGT 1] atau Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(2) Dokumen SKD yang ditetapkan dalam
Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam
hal:
a. WPLN menerima atau memperoleh
penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi
pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar
modal di Indonesia, selain bunga dan dividen;
b. WPLN bank; atau
c. WPLN yang berbentuk dana pensiun yang
pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B
Indonesia dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B Indonesia.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN
kepada Pemotong/Pemungut Pajak:
a. menggunakan formulir yang telah
ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini;
b. telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
c. telah ditandatangani oleh WPLN atau
diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara
mitra P3B;
d. telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di
negara mitra P3B, yang dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara
dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; dan
e. disampaikan
sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak
terutangnya pajak.
(4) Dalam hal WPLN tidak dapat memenuhi
ketentuan pada ayat (3) butir d, WPLN dianggap memenuhi persyaratan
administratif apabila ketentuan-ketentuan pada ayat (3) butir a, b, c, dan e
dipenuhi, dan WPLN melampirkan surat keterangan domisili yang lazim disahkan
atau diterbitkan oleh negara mitra P3B yang memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. menggunakan bahasa Inggris;
b. diterbitkan pada atau setelah tanggal 1
Januari 2010;
c. berupa dokumen asli atau dokumen
fotokopi yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu
Pemotong/Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak;
d. sekurang-kurangnya mencantumkan
informasi mengenai nama WPLN; dan
e. mencantumkan tanda tangan pejabat yang
berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di
negara mitra P3B atau tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan
kelaziman di negara mitra P3B dan nama pejabat dimaksud.
(5) Persyaratan tidak terjadi penyalahgunaan
P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dianggap terpenuhi apabila
dalam lembar kedua Lampiran II [Form-DGT 1]:
a. dalam hal WPLN adalah orang pribadi,
WPLN tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b. dalam hal WPLN adalah badan, WPLN
merupakan perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan
secara teratur; atau
c. dalam hal WPLN adalah badan:
1) bagi penghasilan yang di dalam P3B
terkait tidak memuat persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab bahwa pendirian
perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak
ditujukan untuk pemanfaatan P3B; atau
2) bagi penghasilan yang di dalam P3B
terkait memuat persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab:
a) pendirian perusahaan di negara mitra
P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan
P3B; dan
b) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen
sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
c) perusahaan mempunyai pegawai yang
memadai; dan
d) mempunyai kegiatan atau usaha aktif;
dan
e) penghasilan yang bersumber dari
Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
f) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(6) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain
yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga,
dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening
yang menjadi nasabahnya.
(7) Dalam hal terdapat ketentuan dalam suatu
P3B yang mengatur bahwa pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau
lembaga-lembaga yang dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas
penghasilan tertentu, maka pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau
lembaga dimaksud tidak perlu menyampaikan SKD untuk keperluan penerapan
ketentuan dalam P3B tersebut.
Pasal II
Ketentuan
Pasal 5 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang
Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) SKD yang menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] yang disampaikan kepada
Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa
untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar
penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(2) SKD yang menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] lembar pertama dan dalam
Lampiran III [Form-DGT 2] yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) mempunyai masa berlaku sebagai dasar penerapan P3B sampai
dengan 12 (dua belas) bulan sejak bulan SKD disahkan atau setelah bulan surat
keterangan domisili yang lazim diterbitkan oleh negara mitra P3B diterbitkan
atau disahkan.
Pasal III
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 30 April 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-25/PJ/2010
TANGGAL 30 APRIL 2010
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka memberikan kepastian dalam penerapan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERUBAHAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG PENCEGAHAN
PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
Pasal I
Ketentuan
Pasal 3 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) dapat terjadi dalam hal:
a. transaksi yang tidak mempunyai
substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa
dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
b. transaksi dengan struktur/skema yang
format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic
substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat
P3B; atau
c. penerima penghasilan bukan merupakan
pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial
owner).
(2) Kriteria beneficial owner sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya diterapkan untuk penghasilan yang di dalam
pasal P3B terkait memuat persyaratan beneficial owner.
Pasal II
Ketentuan
Pasal 4 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Yang dimaksud dengan pemilik yang
sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c adalah penerima penghasilan yang:
a. bertindak tidak sebagai Agen;
b. bertindak tidak sebagai Nominee; dan
c. bukan Perusahaan Conduit.
(2) Orang pribadi atau badan yang dicakup
dalam P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dianggap tidak
melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Individu yang bertindak tidak sebagai
Agen atau Nominee;
b. lembaga yang namanya disebutkan secara
tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di
Indonesia dan di negara mitra P3B;
c. WPLN yang menerima atau memperoleh
penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi
pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar
modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN bertindak tidak
sebagai Agen atau sebagai Nominee;
d. perusahaan yang sahamnya terdaftar di
Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur;
e. dana pensiun yang pendiriannya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B dan merupakan subjek
pajak di negara mitra P3B;
f. bank; atau
g. perusahaan yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) bagi perusahaan yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait tidak mengatur
persyaratan beneficial owner, yaitu : pendirian perusahaan atau pengaturan
struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B;
2) bagi perusahaan yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait mengatur persyaratan
beneficial owner, yaitu:
i) pendirian perusahaan atau pengaturan
struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
ii) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen
sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
iii) perusahaan mempunyai pegawai; dan
iv) mempunyai kegiatan atau usaha aktif;
dan
v) penghasilan yang bersumber dari
Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
vi) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(3) Perusahaan Conduit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari
suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara
manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara
lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan
tersebut diterima langsung.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain
yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga,
dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening
yang menjadi nasabahnya.
(5) Pasar modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d adalah pasar modal yang pendiriannya berdasarkan ketentuan
yang berlaku di negara tempat pasar modal berada.
(6) Pengertian "kegiatan atau usaha
aktif" sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir iv)
diartikan sesuai dengan keadaan WPLN dan dapat mempunyai makna kegiatan atau
usaha yang dilakukan secara aktif oleh WPLN yang ditunjukkan dengan adanya
biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi,
yang berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk dalam hal WPLN
melakukan kegiatan yang signifikan yang dilakukan untuk mempertahankan
kelangsungan entitas.
(7) Pengertian "penghasilan yang
bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya" sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir v) adalah kondisi WPLN berdasarkan
ketentuan perundang-undangan perpajakan di negaranya, dimana WPLN merupakan
subjek yang terutang pajak di negaranya dan penghasilan yang bersumber dari
luar negeri merupakan objek pajak, meskipun pada akhirnya subjek pajak tersebut
tidak terutang pajak secara legal, antara lain karena penghasilan tersebut
terkena tarif pajak 0%, dibebaskan dari pengenaan pajak oleh ketentuan yang
spesifik dengan memenuhi persyaratan tertentu, atau secara ekonomis tidak
menanggung beban pajak, antara lain karena pajak yang terutang ditanggung oleh
pemerintah di luar negeri, ditangguhkan, atau tidak dipungut.
(8) Pengertian "tidak menggunakan lebih
dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban
kepada pihak lain" sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2)
butir vi) adalah tidak lebih 50% dari seluruh penghasilan WPLN, dalam jenis
apapun atau sumber manapun, sebagaimana diungkapkan dalam laporan keuangan
entitas WPLN sendiri (non konsolidasi) yang digunakan untuk memenuhi kewajiban
kepada pihak lain, tidak termasuk pemberian imbalan kepada karyawan yang
diberikan secara wajar dalam hubungan pekerjaan dan biaya-biaya lain yang lazim
dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya dan pembagian keuntungan dalam
bentuk dividen kepada pemegang saham.
Pasal III
Ketentuan
Pasal 6 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Dalam hal WPLN tidak melakukan
penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, WPLN berhak memperoleh
manfaat P3B.
(2) Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang
berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur
persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam P3B.
Pasal IV
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 30 April 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-32/PJ/2011
TANGGAL 11 NOPEMBER 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN
PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN
PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian
dan kelancaran dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha antara
Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, dipandang
perlu melakukan perubahan beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman
Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, perlu menetapkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam
Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5069);
4. Peraturan Pemerintah nomor 80 TAHUN
2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 28 TAHUN 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN
USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN
ISTIMEWA.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib
Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut
Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009.
4. Hubungan Istimewa adalah hubungan
antara Wajib Pajak dengan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
5. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
(Arm’s length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila
kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding,
maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga
atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
6. Harga Wajar atau Laba Wajar adalah
harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga
atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
7. Analisis Kesebandingan adalah analisis
yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi
dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan
identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
8. Penentuan Harga Transfer (transfer
pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
berlaku untuk Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) atas transaksi yang
dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan
Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia.
(2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan
transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang merupakan
Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh
Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan
final atau tidak final pada sektor usaha tertentu;
b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah; atau
c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib
Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan
menentukan pembanding;
b. menentukan metode Penentuan Harga
Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga
Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam
menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(3) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
(Arm’s Length Principle/ALP) mendasarkan pada norma bahwa harga atau laba atas
transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut
mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).
(4) Wajib Pajak yang melakukan transaksi
dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan nilai seluruh
transaksi tidak melebihi Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1
(satu) tahun pajak untuk setiap lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa dalam hal:
1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang
material atau signifikan yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi
yang diperbandingkan; atau
2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat
dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh yang material atau
signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba;
b. dalam hal tersedia Data Pembanding
Internal dan Data Pembanding Eksternal dengan tingkat kesebandingan yang sama,
maka Wajib Pajak wajib menggunakan Data Pembanding Internal untuk penentuan
Harga Wajar atau Laba Wajar.
c. dalam hal Data Pembanding Internal yang
tersedia sebagaimana dimaksud pada huruf b bersifat insidental, maka Data
Pembanding Internal dimaksud hanya dapat dipergunakan dalam transaksi yang
bersifat insidental antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan
langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam melakukan Analisis
Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data Pembanding Internal
dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Data Pembanding Internal adalah data
Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Data Pembanding Eksternal adalah data
Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib
Pajak lain dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Data Pembanding Internal dan Data
Pembanding Eksternal harus memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat kesebandingan.
(4) Dalam hal Data Pembanding Internal telah
memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan, maka Data
Pembanding Eksternal tidak diperlukan.
(5) Data Pembanding Eksternal dapat
diperoleh dari database komersial maupun database lainnya.
6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis
fungsi (functional analysis) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
b, harus dilakukan analisis dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan
ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil
oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dianggap signifikan dalam hal kegiatan tersebut berpengaruh
secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari
transaksi yang dilakukan.
(3) Dalam
melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain:
a. struktur organisasi dan posisi
perusahaan yang diuji dalam kelompok usaha serta manajemen mata rantai (supply
chain management) kelompok usaha;
b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan
oleh suatu perusahaan seperti desain, pengolahan, perakitan, penelitian,
pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi, transportasi,
keuangan, dan manajemen serta karakteristik utama perusahaan seperti jasa
maklon (toll manufacturing), manufaktur dengan fungsi dan risiko terbatas
(contract manufacturing), dan manufaktur dengan fungsi dan risiko penuh (fully
fledge manufacturing);
c. jenis aktiva yang digunakan atau akan
digunakan seperti tanah, bangunan, peralatan, dan Harta Tidak Berwujud, serta
sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar, dan lokasi;
d. risiko yang mungkin timbul dan harus
ditanggung oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi seperti risiko
pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan.
7. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis
atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf c, harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung
jawab, risiko, dan keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam
kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis.
(2) Dalam hal tidak terdapat dokumen
tertulis, hubungan kontrak para pihak dapat ditentukan dari peran/perilaku para
pihak atau prinsip ekonomi, yang umumnya mengatur hubungan para pihak tersebut.
8. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Analisis keadaan ekonomi diperlukan
untuk memperoleh tingkat kesebandingan dalam pasar tempat beroperasinya para
pihak yang melakukan transaksi.
(2) Keadaan ekonomi yang harus
diidentifikasi untuk menentukan tingkat kesebandingan pasar mencakup:
a. Lokasi geografis;
b. ukuran pasar;
c. tingkat persaingan dalam pasar serta
posisi persaingan antara penjual dan pembeli;
d. ketersediaan barang atau jasa
pengganti;
e. tingkat permintaan dan penawaran dalam
pasar baik secara keseluruhan maupun regional;
f. daya beli konsumen;
g. sifat dan cakupan peraturan pemerintah
dalam pasar;
h. biaya produksi termasuk biaya tanah,
upah tenaga kerja, dan modal; biaya transportasi; dan tingkatan pasar;
i. tanggal dan waktu transaksi; dan
sebagainya.
9. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Dalam penentuan metode Harga Wajar atau
Laba Wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga
Transfer yang paling sesuai (The Most Appropiate Method).
(2) Metode Penentuan Harga Transfer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diterapkan adalah:
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale
Price Method/RPM);
c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
d. Metode Pembagian Laba (Profit Split
Method/PSM); atau
e. Metode Laba Bersih Transaksional
(Transactional Net Margin Method/TNMM).
(3) Metode Perbandingan Harga antara Pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP)
adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan
harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan
yang sebanding.
(4) Metode Harga Penjualan Kembali (Resale
Price Method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan
membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk
tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan
risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam
kondisi wajar.
(5) Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)
adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan
tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi
dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor
wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai
dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(6) Metode Pembagian Laba (Profit Split
Method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis Laba Transaksional
(Transactional Profit Method Based) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba
gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat
diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang
selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode Kontribusi
(Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian Laba (Residual
Profit Split Method).
(7) Metode Laba Bersih Transaksional
(Transactional Net Margin method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer
yang dilakukan dengan membandingkan presentase laba bersih operasi terhadap
biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan presentase
laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.
(8) Dalam menerapkan metode Penentuan Harga
Transfer yang paling sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. kelebihan dan kekurangan setiap metode;
b. kesesuaian metode Penentuan Harga
Transfer dengan sifat dasar transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa, yang ditentukan berdasarkan analisis fungsional;
c. ketersediaan informasi yang handal
(sehubungan dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa) untuk menerapkan metode yang dipilih dan/atau metode lain;
d. tingkat kesebandingan antara transaksi
antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian yang
dilakukan untuk menghilangkan pengaruh yang material dari perbedaan yang ada.
(9) Kondisi yang tepat dalam menerapkan
Metode Perbandingan Harga antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP) antara lain adalah:
a. barang atau jasa yang ditransaksikan
memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
b. kondisi transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak
memiliki Hubungan Istimewa Identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang
tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan
pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
(10) Kondisi yang tepat dalam menerapkan
Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) antara lain adalah:
a. tingkat kesebandingan yang tinggi
antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya
tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau
jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak
memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang
diperjualbelikan.
(11) Kondisi yang tepat dalam menerapkan
Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) antara lain adalah:
a. barang setengah jadi dijual kepada
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan
fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka
panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk transaksi adalah penyediaan
jasa.
(12) Metode Pembagian Laba (Profit Split
Method/PSM) secara khusus hanya dapat diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
a. transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak
dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
b. terdapat barang tidak berwujud yang
unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam
menemukan data pembanding yang tepat.
(13) Kondisi yang tepat dalam menerapkan
Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM) antara
lain adalah:
a. salah satu pihak dalam transaksi
Hubungan Istimewa melakukan kontribusi yang khusus; atau
b. salah satu pihak dalam transaksi
Hubungan Istimewa melakukan transaksi yang kompleks dan memiliki transaksi yang
berhubungan satu sama lain.
(14) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan
kajian yang dilakukan dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
10. Pasal 12 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
wajib diterapkan atas transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi
ketentuan:
a. penyerahan atau perolehan jasa
benar-benar terjadi;
b. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak
yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
mempunyai kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak
untuk keperluannya;
(3) Penyerahan atau perolehan jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap benar-benar terjadi apabila
terdapat manfaat ekonomis atau komersial yang dapat menambah nilai atas
penyerahan atau perolehan jasa dimaksud.
(4) Dalam menentukan nilai transaksi jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus diterapkan melalui Analisis
Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10.
(5) Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap tidak memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal transaksi jasa terjadi hanya karena
terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah satu atau beberapa perusahaan
yang berada dalam satu kelompok usaha.
(6) Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) termasuk biaya atau pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan:
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan
induk, seperti rapat pemegang saham perusahaan induk, penerbitan saham oleh
perusahaan induk, dan biaya pengurus perusahaan induk;
b. kewajiban pelaporan perusahaan induk,
termasuk laporan keuangan konsolidasi perusahaan induk, kecuali terdapat bukti
mengenai adanya manfaat yang terukur yang dinikmati oleh Wajib Pajak;
c. perolehan dana/modal yang dipergunakan
untuk pengambilalihan kepemilikan perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali
pengambilalihan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati
oleh Wajib Pajak.
12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan dan pengalihan Harta Tidak Berwujud
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Harta Tidak Berwujud (Intangibles)
adalah suatu aktiva yang pada umumnya memiliki masa manfaat yang panjang dan
tidak mempunyai bentuk fisik serta memiliki kegunaan dalam kegiatan operasi
perusahaan dan penggunaannya tidak untuk dijual kembali, seperti paten, hak
cipta atau merek dagang.
(3) Harta Tidak Berwujud sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi
Perdagangan (Trade Intangibles) dan Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan
Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles).
(4) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan
Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) pada umumnya terjadi melalui kegiatan
riset dan pengembangan yang berisiko dan mahal, sehingga pemiliknya berusaha
mengganti pengeluaran tersebut melalui penjualan barang, perjanjian lisensi
atau kontrak jasa.
(5) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan
Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles) meliputi antara lain merek dagang atau
nama dagang yang membantu meningkatkan pemasaran dari barang dan jasa, daftar
pelanggan, dan saluran distribusi.
(6) Merek Dagang adalah nama, simbol atau
gambar yang unik yang dimiliki sebagai identitas dari suatu barang atau jasa
tertentu yang dihasilkan oleh pabrikan atau dealer, dimana penggunaannya oleh
pihak lain diatur oleh hukum domestik atau hukum internasional.
(7) Transaksi pemanfaatan Harta Tidak
Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang
memenuhi ketentuan:
a. transaksi pemanfaatan Harta Tidak
Berwujud benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau
komersial; dan
c. transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis Kesebandingan dan
menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi.
(8) Transaksi pengalihan Harta Tidak
Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang
memenuhi ketentuan:
a. transaksi pengalihan Harta Tidak
Berwujud benar-benar terjadi; dan
b. nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud
antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai
pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding.
(9) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan
untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) harus
dipertimbangkan antara lain:
a. keterbatasan geografis dalam
pemanfaatan hak atas Harta Tidak Berwujud;
b. eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
c. keberadaan hak pihak yang memperolah
Harta Tak Berwujud untuk turut serta dalam pengembangan harta dimaksud.
13. Diantara Pasal 17 dan Pasal 18
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost
Contribution Arrangements) adalah kesepakatan yang dibuat oleh para pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa untuk berbagi risiko dari mengembangkan,
menghasilkan atau mendapatkan aset, jasa atau hak, dan untuk menentukan fungsi
dan peranan para pihak dalam kesepakatan atas aset, jasa atau hak dimaksud.
(2) Para pihak dalam Kesepakatan Kontribusi
Biaya (Cost Contribution Arrangements) berhak untuk mendapatkan manfaat
pelaksanaan Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements)
sebagai pemilik efektif (effective owners).
(3) Dalam hal terdapat Kesepakatan
Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements), maka kontribusi biaya antara
para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dibandingkan dengan
kontribusi biaya dalam kesepakatan yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.
14. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan
menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang
KUP dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Termasuk dalam pengertian dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen yang menjadi dasar
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan
dokumentasi dalam melaporkan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang
terdiri dari satu set dokumen induk dan satu set lampiran dari dokumen induk.
(4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri
jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang
dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba
Wajar yang dipilih, termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi.
(5) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba
Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup:
a. gambaran perusahaan secara rinci
seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi,
aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran
lingkungan usaha;
b. kebijakan penetapan harga dan/atau
penetapan alokasi biaya;
c. hasil Analisis Kesebandingan atas
karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi
ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha.
d. pembanding yang terpilih;
e. catatan mengenai penerapan metode
penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta
alasan penolakan metode yang tidak dipilih.
15. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kewenangan Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila Wajib Pajak telah
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan
dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
(3) Penghitungan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang
diterapkan oleh Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat
memberikan penjelasan yang memadai dan/atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga
Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan
Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak
sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.
16. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang
melakukan penyesuaian (correlative adjustment) terhadap penghitungan
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian
(primary adjustment) yang dilakukan oleh:
a. Direktur Jenderal Pajak atas
penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam
negeri lainnya termasuk Bentuk Usaha Tetap yang menjadi lawan transaksi Wajib
Pajak; atau
b. otoritas pajak negara lain atas
penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak negara
tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak dalam negeri termasuk Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia.
(2) Atas penyesuaian yang dilakukan oleh
otoritas pajak negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib
Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan sendiri penyesuaian penghitungan
pajaknya.
17. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur
Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
atau P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang menyangkut penerapan
ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal
Wajib Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak di
negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang menjadi lawan transaksinya.
(2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
(3) Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual
Agreement Procedure/MAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah prosedur
administratif yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia dengan
pejabat yang berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa
perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B.
18. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) kepada Direktur
Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai upaya menghindari
permasalahan yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian
tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau antara Direktur
Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh.
Pasal II
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 11 November 2011
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD
RAHMANY
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-35/PJ/2010
TANGGAL 28 JULI 2010
TENTANG
SURAT KETERANGAN
DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur
bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa dalam menerapkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda, orang atau badan yang berhak untuk memperoleh
manfaat merupakan subjek pajak dalam negeri dari salah satu atau kedua negara
yang membuat persetujuan;
c. bahwa dalam rangka memberikan kepastian
dan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia untuk menikmati manfaat
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda di negara mitra perjanjian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek
Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK
DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2. Surat Keterangan Domisili yang
selanjutnya disebut SKD adalah Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan bagi
Wajib Pajak dalam negeri yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak adalah
subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
PPh dalam rangka memperoleh manfaat P3B di 1 (satu) negara mitra P3B.
3. Kantor Pelayanan Pajak Domisili yang
selanjutnya disebut KPP Domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi
terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar.
4. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 2
(1) SKD diterbitkan atau disahkan oleh
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib
Pajak.
(2) SKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat menggunakan Form-DGT 7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini atau menggunakan formulir khusus yang diterbitkan
oleh negara mitra P3B.
Pasal 3
Wajib
Pajak yang dapat memperoleh SKD adalah Wajib Pajak yang:
a. berstatus subjek pajak dalam negeri
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh;
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
c. bukan berstatus subjek pajak luar
negeri, termasuk bentuk usaha tetap, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(4) Undang-Undang PPh.
Pasal 4
Permohonan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili dengan menggunakan Form-DGT 6
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. Form-DGT 6 sebagaimana dimaksud pada
huruf a telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;
c. memuat nama negara/jurisdiksi mitra P3B
tempat penghasilan bersumber;
d. memuat penjelasan mengenai penghasilan
dan pajak yang akan dikenakan di negara mitra P3B atas penghasilan dimaksud;
e. ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan
f. dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP, dalam hal permohonan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
Pasal 5
(1) KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara
lengkap.
(2) Direktur Jenderal Pajak melalui KPP
Domisili menolak permohonan Wajib Pajak dalam hal:
a. Wajib
Pajak yang mengajukan permohonan tidak memenuhi ketentuan Pasal 3;
b. permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi
persyaratan yang diatur dalam Pasal 4; atau
c. Wajib Pajak belum menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan meskipun batas waktu penyampaian telah terlewati dan tidak
Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan sesuai ketentuan perundang-undangan.
(3) Penolakan atas permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberitahukan secara tertulis kepada
Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan Wajib Pajak
diterima.
Pasal 6
Dalam hal
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Pajak Penghasilan dan masih memerlukan SKD,
Wajib Pajak harus menyampaikan kembali permohonan kepada Direktur Jenderal
Pajak melalui KPP Domisili.
Pasal 7
Masa berlaku
SKD yang diterbitkan oleh KPP Domisili sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) adalah 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, kecuali bagi Wajib Pajak
bank sepanjang Wajib Pajak bank tersebut mempunyai alamat yang sama dengan SKD
yang telah diterbitkan.
Pasal 8
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 28 Juli 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
LAMPIRAN I
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-35/PJ/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI
BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
KEMENTERIAN
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT
JENDERAL PAJAK
FORMULIR PERMOHONAN
SURAT KETERANGAN
DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA
DALAM RANGKA
PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
(FORM-DGT 6)
I INFORMASI WAJIB PAJAK
1. Nama Wajib Pajak : ________________________________ (1)
2. NPWP : |_|_| |_|_|_| |_|_|_| |_| |_|_|_|
|_|_|_| (2)
3. Alamat : ________________________________
_________________________________________________________________
No. Telp : _________, alamat e-mail
: __________________________________ (3)
II INFORMASI WAKIL WAJIB PAJAK
1. Nama : ________________________________ (4)
2. NPWP : |_|_| |_|_|_| |_|_|_| |_| |_|_|_|
|_|_|_| (5)
3. Alamat : ________________________________
_________________________________________________________________
No. Telp : _________, alamat e-mail
: __________________________________ (6)
Dalam
rangka menerapkan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
antara Indonesia dengan negara/jurisdiksi sebagaimana kami sebutkan pada butir
III, kami menyatakan bahwa kami adalah subjek pajak dalam negeri Indonesia
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh. Permohonan ini kami
sampaikan untuk memperoleh keterangan Direktur Jenderal Pajak mengenai status
kami sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia.
III. INFORMASI NEGARA TEMPAT SUMBER
PENGHASILAN DIMANA SKD AKAN DIPERGUNAKAN
SKD diperlukan untuk memperoleh
manfaat P3B atas penghasilan yang bersumber dari negara/jurisdiksi : (7)
1. _______________________________ 4. _________________________
2. _______________________________ 5. _________________________
3. _______________________________ 6. _________________________
IV. INFORMASI MENGENAI PENGHASILAN
Informasi
mengenai penghasilan yang bersumber dari negara/jurisdiksi yang kami sebutkan
pada butir III di atas adalah sebagai berikut : (gunakan kertas terpisah
apabila diperlukan)
Negara
sumber penghasilan : _______________ (8)
|
Tarif
Pajak atas penghasilan di negara mitra P3B : (10)
tanpa
P3B (tarif domestik) : ___%, dengan P3B : ___ %
|
Jenis
penghasilan yang (akan) diterima : ______ (9)
|
Penjelasan
mengenai transaksi atau kejadian yang menimbulkan penghasilan : (11)
_____________________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________________________
V. PERNYATAAN WAJIB PAJAK
Kami
sampaikan pernyataan bahwa penghasilan yang timbul dari transaksi sebagaimana
kami jelaskan pada butir IV akan kami laporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Demikian permohonan ini kami sampaikan.
Yang
mengajukan permohonan : (12)
Nama
Wajib Pajak :
____________________________________________________________________
Bertindak
sebagai : |_| Wajib Pajak Sendiri |_|
Pengurus |_| Kuasa (tandai kotak yang sesuai)
____________________,
______/ _____/ ______ _________________
Tempat dan tanggal (hh/bb/tahun) Tanda Tangan
FORM-DGT
6
PETUNJUK PENGISIAN
FORMULIR PERMOHONAN
SURAT KETERANGAN DOMISILI
BAGI SUBJEK PAJAK
DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN
PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (FORM - DGT 6)
I. INFORMASI WAJIB PAJAK
Diisi
dengan informasi mengenai Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD yang
namanya akan dicantumkan dalam SKD
Nomor (1) : Diisi
dengan nama Wajib Pajak Pemohon.
Nomor
(2) : Diisi dengan NPWP sesuai dengan yang tercantum dalam Kartu
NPWP Pemohon.
Nomor
(3) : Alamat lengkap Wajib Pajak Pemohon sesuai keadaan yang
sebenarnya. Nomor telepon harus disertakan, termasuk alamat surat elektronik
(e-mail) apabila ada.
II. INFORMASI WAKIL WAJIB PAJAK
Dalam hal permohonan Wajib Pajak
disampaikan bukan oleh Wajib Pajak sendiri, bagian ini diisi dengan informasi
pihak yang bertindak sebagai wakil Wajib Pajak.
Berdasarkan Pasal 32 ayat (1)
Undang-Undang KUP, badan diwakili oleh pengurus, badan yang dinyatakan pailit
diwakili oleh kurator, badan dalam pembubaran diwakili oleh orang atau badan
yang ditugasi untuk melakukan pemberesan, badan dalam likuidasi diwakili oleh
likuidator, warisan yang belum terbagi diwakili oleh salah seorang ahli
warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya, dan anak
yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan diwakili oleh wali
atau pengampunya.
Nomor (4) : Diisi
dengan nama wakil Wajib Pajak.
Nomor
(5) : Diisi dengan NPWP wakil Wajib Pajak sesuai dengan yang
tercantum dalam Kartu NPWP wakil Wajib Pajak.
Nomor
(6) : Alamat lengkap wakil Wajib Pajak sesuai keadaan yang
sebenarnya. Nomor telepon harus disertakan, termasuk alamat surat elektronik
(e-mail) apabila ada.
III. NEGARA TEMPAT SUMBER PENGHASILAN DIMANA
SKD AKAN DIPERGUNAKAN
Nomor
(7) : Diisi dengan nama negara/jurisdiksi tempat sumber
penghasilan dimana SKD akan dipergunakan. Dapat diisi lebih dari satu
negara/jurisdiksi. Apabila terdapat lebih dari 6 (enam) negara, agar
menggunakan kertas terpisah.
IV. INFORMASI MENGENAI PENGHASILAN
Diisi dengan informasi mengenai
tiap-tiap penghasilan yang diperoleh atau akan diperoleh dari setiap negara/jurisdiksi.
Nomor
(8) : Diisi dengan nama negara/jurisdiksi sumber penghasilan di
luar negeri yang merupakan negara mitra P3B Indonesia.
Nomor
(9) : Diisi dengan jenis penghasilan yang diperoleh atau akan
diperoleh Wajib Pajak, seperti : dividen, bunga, royalti, keuntungan karena
pengalihan harta, imbalan jasa, gaji, bonus, hadiah, atau jenis penghasilan
lainnya.
Nomor
(10) : Diisi dengan tarif pajak yang akan dikenakan di negara
mitra P3B. Yang dimaksud dengan "tarif pajak tanpa P3B (tarif
domestik)" adalah tarif pajak berdasarkan ketentuan perpajakan di negara
mitra P3B yang akan dikenakan atas penghasilan Wajib Pajak dalam hal P3B tidak
diterapkan. Yang dimaksud dengan "tarif pajak dengan P3B" adalah
tarif pajak berdasarkan ketentuan P3B yang akan diterapkan atas penghasilan
Wajib Pajak, dimana tarif tersebut mungkin sama dengan atau lebih kecil dari
tarif domestik. Diisi dengan 0% apabila penghasilan tidak dikenakan
pajak/dibebaskan di negara mitra P3B.
Nomor
(11) : Diisi dengan penjelasan mengenai transaksi atau kejadian
yang menimbulkan penghasilan, nama pihak di luar negeri yang membayarkan atau
akan membayarkan penghasilan, nilai penghasilan yang diperoleh atau akan
diperoleh, dan saat transaksi atau kejadian, termasuk keterangan lain yang
perlu disampaikan (apabila ada). Gunakan kertas terpisah apabila diperlukan.
V. INFORMASI MENGENAI PENGHASILAN
Nomor
(12) : Diisi dengan nama, tempat, dan tanggal pengajuan serta
tanda tangan Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak.
LAMPIRAN II
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-35/PJ/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI
BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
MINISTRY
OF FINANCE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
DIRECTORATE
GENERAL OF TAXES
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
No
………………………………………………………………, Date of issue : ………………………………………………..
CERTIFICATE OF
TAXPAYER RESIDENCY
The
Republic of Indonesia tax authority certifies that to the best of our
knowledge:
Name of
taxpayer : ………………………………………………
Taxpayer
Identification Number : ………………………………………………
Address : ………………………………………………
………………………………………………
is a
resident of Indonesia for income tax purposes within the meaning of the Double
Taxation Convention/Agreement between the Republic of Indonesia and
.............. for the fiscal year……………… and has filed the income tax return
for the fiscal year....................
………………………………………………………………
………………………………………………………………
cc.:
Director of Tax Regulations II
This
certificate is requested by the taxpayer mentioned above for the purposes of
claiming benefits or relief provided by the Double Taxation Convention/Agreement
between the Republic of Indonesia and …………………………………………………………… and shall be
valid for 1 (one) year from the date of issue.
|
FORM -
DGT 7
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-40/PJ/2010
TANGGAL 9 AGUSTUS 2010
TENTANG
PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK LUAR
NEGERI
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur
bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah Negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa dalam rangka melaksanakan
ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata
Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang
Seharusnya Tidak Bagi Wajib Pajak Luar Negeri;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
188/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang
Seharusnya Tidak Terutang;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG
SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah Negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2. Wajib Pajak luar negeri selanjutnya
disebut WPLN adalah subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk P3B.
4. Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang
adalah pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN yang seharusnya
tidak dipotong atau dipungut oleh Pemotong/Pemungut Pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, termasuk P3B.
5. Pejabat Yang Berwenang adalah pejabat
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam P3B.
6. Prosedur Persetujuan Bersama atau
Mutual Agreement Procedures selanjutnya disebut MAP adalah prosedur yang
dijalankan oleh Pejabat Yang Berwenang akibat penerapan P3B yang tidak
sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
7. Kesepakatan Dalam Rangka MAP (mutual
agreement) adalah kesepakatan antara Pejabat Yang Berwenang dari Indonesia dan
Pejabat Yang Berwenang dari negara mitra P3B dalam rangka menjalankan MAP
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
8. Surat Keterangan Domisili yang
selanjutnya disebut SKD adalah formulir Certificate of Domicile of Non Resident
for Claiming Tax Refund of Indonesia Tax Withholding (Form-DGT 5) yang diisi
oleh WPLN.
9. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya
disebut KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong/Pemungut Pajak
terdaftar sebagai Wajib Pajak Pemotong/Pemungut Pajak.
10. Surat Pemberitahuan Masa yang
selanjutnya disebut SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh
Pemotong/Pemungut Pajak untuk melaporkan penghitungan dan penyetoran atas
pemotongan atau pemungutan pajak yang telah dilakukan untuk suatu Masa Pajak
tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 2
Pajak
Yang seharusnya Tidak Terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
WPLN meliputi:
a. kesalahan pemotongan atau pemungutan
pajak yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut oleh
Pemotong/Pemungut Pajak lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong
atau dipungut berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk P3B;
b. pemotongan atau pemungutan pajak atas
penghasilan yang bukan objek pajak; atau
c. pemotongan atau pemungutan pajak yang
lebih besar daripada yang seharusnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
P3B sesuai dengan Kesepakatan Dalam Rangka MAP.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak yang dapat mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak
Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah WPLN yang tidak menjalankan
kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diajukan oleh WPLN melalui Pemotong/Pemungut Pajak.
Pasal 4
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP dengan menggunakan Form-DGT 3
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. Form-DGT
3 sebagaimana dimaksud pada huruf a harus:
1) diisi dengan benar, lengkap, dan jelas;
2) diisi dalam bahasa Inggris;
3) ditandatangani oleh WPLN;
4) mencantumkan alasan permohonan WPLN
secara jelas; dan
5) mencantumkan jumlah pajak yang diminta
untuk dikembalikan;
c. dilampiri
dengan surat kuasa, dan
d. dilengkapi
dengan dokumen pendukung.
(2) Permohonan yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap bukan surat permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Tidak Seharusnya Terutang,
sehingga tidak dipertimbangkan.
Pasal 5
Pemotong/Pemungut
Pajak harus menyampaikan permohonan WPLN yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Kepala KPP.
Pasal 6
Surat
kuasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) huruf c harus dibuat oleh WPLN
dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. menggunakan Form-DGT 4 sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak;
b. Form-DGT 4 sebagaimana dimaksud pada
huruf a harus:
1) diisi
dengan benar, lengkap, dan jelas;
2) diisi
dalam bahasa Inggris;
3) ditandatangani
oleh WPLN; dan
4) dilunasi Bea Meterai yang terutang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
5) mencantumkan pernyataan pemberian kuasa
kepada Pemotong/Pemungut Pajak untuk menyampaikan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang beserta
kelengkapannya ke KPP dan bertindak mewakili WPLN untuk menerima pengembalian
kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang.
Pasal 7
(1) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d terdiri dari:
a. SKD dengan menggunakan Form-DGT 5
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini;
b. bukti pemotongan/pemungutan pajak asli
yang dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya tidak
terutang;
c. surat pernyataan WPLN bahwa pajak yang
dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak WPLN yang terutang di
luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan
kena pajak WPLN di luar negeri.
d. dalam hal WPLN adalah subjek pajak
dalam negeri dari negara/jurisdiksi mitra P3B Indonesia dan menerima atau
memperoleh penghasilan yang pasal terkait dalam P3B memuat klausul beneficial
owner, yaitu:
1) nama, alamat, kewarganegaraan, dan
informasi rinci mengenai dewan direksi;
2) identitas dan informasi rinci mengenai
pemegang saham;
3) jumlah pegawai dan informasi rinci
mengenai tugasnya;
4) penjelasan atas investasi yang
menimbulkan penghasilan;
5) sumber pendanaan investasi;
6) penggunaan atau rencana penggunaan
penghasilan yang bersumber dari Indonesia; dan
7) laporan keuangan dan surat
pemberitahuan pajak untuk tahun yang mencakup saat terjadinya transaksi dan 2
(dua) tahun sebelumnya;
e. dokumen
yang berkaitan dengan jenis penghasilan:
1) bunga:
a) perjanjian pemberian atau penyediaan
pinjaman/utang;
b) jurnal pencatatan penerimaan bunga;
c) rekening bank penerimaan dan penggunaan
penghasilan; dan
d) notice of interest computation;
2) dividen:
a) dividend declaration dari perusahaan
yang membayar dividen;
b) rekening bank penerimaan dan penggunaan
penghasilan; dan
c) surat keterangan dari pembayar dividen
yang menyatakan bahwa pemohon adalah pemegang saham yang berhak menerima
dividen;
3) royalty, sewa, dan penghasilan lain
dari penggunaan harta:
a) perjanjian yang terkait dengan
penyediaan harta;
b) jurnal pencatatan penerimaan
penghasilan;
c) rekening bank penerimaan dan penggunaan
penghasilan; dan
d) notice of income computation;
4) imbalan jasa, baik yang dilakukan oleh
individu maupun badan:
a) perjanjian pemberian/penyediaan jasa;
b) pernyataan WPLN bahwa WPLN tidak
menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap;
dan
c) surat keterangan dari Pemotong/Pemungut
Pajak mengenai lamanya pelaksanaan pemberian/penyediaan jasa di Indonesia;
5) penghasilan dari penjualan atau
pengalihan saham perusahaan di Indonesia:
a) perjanjian penjualan atau pengalihan
saham; dan
b) akta pemindahan hak atas saham yang
dijual atau dialihkan dari perusahaan di Indonesia yang sahamnya dijual atau
dialihkan;
6) premi asuransi dan premi reasuransi:
a) polis asuransi/reasuransi; dan
b) notice of premium computation;
7) branch profit bentuk usaha tetap:
a) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan bentuk usaha tetap; dan
b) surat keterangan Wajib Pajak bentuk
usaha tetap yang menerangkan alasan pemotongan pajak atas branch profit;
8) penghasilan lainnya:
a) pernyataan Pemotong/Pemungut Pajak
bahwa WPLN adalah pemilik sah atas penghasilan; dan
b) penjelasan WPLN mengenai substansi
penghasilan; dan
f. dokumen lain yang menurut WPLN atau
Pemotong/Pemungut Pajak perlu disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Form-DGT 5 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a hanya dipersyaratkan bagi WPLN yang merupakan subjek pajak
dalam negeri di Negara/jurisdiksi mitra P3B dan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. diisi
oleh WPLN dengan benar, lengkap, dan jelas.
b. ditandatangani oleh WPLN atau diberi
tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di
negara/jurisdiksi mitra P3B;
c. telah disahkan oleh Pejabat Yang
Berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di
negara/jurisdiksi mitra P3B, yang dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda
yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara/jurisdiksi
mitra P3B; dan
d. dalam hal WPLN tidak dapat memperoleh
pengesahan Pejabat Yang Berwenang di negara/jurisdiksi mitra P3B pada
Form-DGT-5 sebagaimana dimaksud pada huruf c, pengesahan dimaksud dapat
digantikan dengan surat keterangan domisili asli yang lazim disahkan atau
diterbitkan oleh negara/jurisdiksi mitra P3B dengan memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) menggunakan bahasa Inggris;
2) sekurang-kurangnya mencantumkan
informasi mengenai nama WPLN;
3) menyebutkan tahun pajak yang mencakup
penghasilan yang terkait dengan Pajak Yang Seharus Tidak Terutang; dan
4) mencantumkan tanda tangan Pejabat Yang
Berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di
negara mitra P3B atau tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan
kelaziman di negara/jurisdiksi mitra P3B dan nama pejabat dimaksud.
(3) Dalam hal permohonan WPLN terkait dengan
pelaksanaan Kesepakatan Dalam Rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf c, dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
terdiri dari:
a. bukti pemotongan/pemungutan pajak asli
yang dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak
Terutang; dan
b. fotokopi
surat Kesepakatan Dalam Rangka MAP.
Pasal 8
Dalam
rangka menyelesaikan permohonan WPLN, Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala
KPP:
a. melakukan penelitian atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang;
b. dapat meminta keterangan dari
Pemotong/Pemungut Pajak, WPLN, Pejabat Yang Berwenang di negara mitra P3B,
dan/atau pihak lain.
Pasal 9
(1) Permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang ditolak dalam hal berdasarkan
hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a:
a. WPLN
merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
b. pajak
yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak;
c. pajak
yang dipotong atau dipungut telah:
1) diperhitungkan dengan pajak WPLN yang
terutang di luar negeri,
2) telah dibebankan sebagai biaya dalam
penghitungan penghasilan kena pajak WPLN di luar negeri, atau
3) ditanggung oleh atau menjadi beban
Pemotong/Pemungut Pajak;
d. permohonan
WPLN tidak sesuai dengan ruang lingkup P3B;
e. terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai pencegahan penyalahgunaan P3B; atau
f. pajak yang dipotong atau dipungut oleh
Pemotong/Pemungut Pajak telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk
P3B.
(2) Permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang terkait dengan pelaksanaan
Kesepakatan Dalam Rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c ditolak
dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a:
a. pajak
yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak; atau
b. jumlah kelebihan pembayaran Pajak Yang
Seharusnya Tidak terutang menurut permohonan WPLN lebih besar daripada jumlah
kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang berdasarkan
Kesepakatan Dalam Rangka MAP.
(3) Permohonan WPLN yang bukan berasal dari
negara/jurisdiksi mitra P3B Indonesia ditolak dalam hal berdasarkan hasil
penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a:
a. WPLN
merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
b. pajak
yang dipotong atau dipungut belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak;
c. pajak
yang dipotong atau dipungut telah:
1) diperhitungkan dengan pajak WPLN yang
terutang di luar negeri;
2) dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena
pajak WPLN di luar negeri, atau
3) ditanggung oleh atau menjadi beban
Pemotong/Pemungut Pajak; atau
d. pajak
yang dipotong atau dipungut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Dalam hal terdapat pajak yang dipotong
atau dipungut, namun belum disetor oleh Pemotong/Pemungut Pajak, Kepala KPP
menagih pajak yang terutang kepada Pemotong/Pemungut Pajak sesuai ketentuan
yang berlaku.
(5) Dalam hal SPT Masa belum dilaporkan oleh
Pemotong/Pemungut Pajak, Kepala KPP harus menindaklanjutinya sesuai ketentuan
yang berlaku.
Pasal 10
(1) Setelah melakukan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atas nama Pemotong/Pemungut Pajak
q.q. WPLN, apabila terdapat Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang, paling lama 3
(tiga) bulan sejak permohonan WPLN diterima secara lengkap.
(2) Dalam hal permohonan WPLN ditolak,
Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP harus memberitahukan secara tertulis
kepada WPLN melalui Pemotong/Pemungut Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan WPLN diterima secara lengkap dan dengan menyebutkan alasan
penolakannya.
(3) Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atas nama Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak atas nama Pemotong/Pemungut Pajak q.q. WPLN sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(4) Atas dasar Surat Keputusan Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala KPP atas
nama Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran
Pajak atas nama Pemotong/Pemungut Pajak q.q. WPLN sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dengan mencantumkan nomor rekening bank yang berada di Indonesia milik
Pemotong/Pemungut Pajak dan dengan menggunakan mata uang Rupiah.
Pasal 11
Pada saat
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-09/PJ.10/1994 tentang Restitusi Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Ketentuan Dalam PPPB dinyatakan tidak berlaku, kecuali untuk
permohonan pengembalian Pajak Penghasilan Pasal 26 dalam rangka penerapan
ketentuan P3B yang telah diajukan oleh WPLN sebelum berlakunya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 11
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 9 Agustus 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-48/PJ/2010
TANGGAL 3 NOPEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN
PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) BERDASARKAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Pasal 32A
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur
bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa dalam Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara mitra
diatur mengenai Prosedur Persetujuan Bersama atau lazim disebut dengan Mutual
Agreement Procedure (MAP);
c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan
dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda mengenai Prosedur Persetujuan
Bersama dimaksud, perlu ditetapkan prosedur baku sebagai petunjuk teknis
pelaksanaannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur
Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN
BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) BERDASARKAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan Pemerintah negara atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya
pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
2. Prosedur Persetujuan Bersama atau
Mutual Agreement Procedure yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur
administrative yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul dalam penerapan P3B.
3. Pejabat yang Berwenang adalah pejabat
sebagaimana dimaksud dalam P3B.
4. Negara Mitra P3B adalah negara atau
yurisdiksi yang mempunyai P3B dengan Indonesia yang sudah berlaku efektif.
5. Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement
adalah hasil yang telah disepakati oleh Pejabat yang Berwenang dari Indonesia
dan Negara Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.
6. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
adalah Subjek Pajak dalam negeri berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang tersebut.
7. Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra
P3B adalah Subjek Pajak dalam negeri Negara Mitra P3B berdasarkan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku di negara yang bersangkutan, yang
menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan di negara
tersebut.
8. Wajib Pajak Luar Negeri adalah Subjek
Pajak luar negeri berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang tersebut.
9. Warga Negara Indonesia adalah Warga
Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang
kewarganegaraan.
10. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP, adalah
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
11. Transfer Pricing adalah penentuan harga
yang dilakukan dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
12. Corresponding Adjustments yaitu koreksi
atau penyesuaian atas jumlah pajak yang terutang bagi Wajib Pajak suatu negara
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak negara mitra, yang
dilakukan oleh otoritas pajak negara yang bersangkutan sehubungan dengan
koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak negara mitra
(primary adjustments), sehingga alokasi keuntungan pada dua negara atau
yurisdiksi tersebut konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan
pajak berganda.
13. Dual Residence adalah kondisi yang
dihadapi oleh satu subjek pajak yang melakukan transaksi lintas negara atau
yurisdiksi pada saat yang sama dianggap menjadi subjek pajak dalam negeri di
masing-masing negara atau yurisdiksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku di masing-masing negara atau yurisdiksi dimaksud.
Pasal 2
MAP
dilaksanakan dalam hal terdapat:
a. permintaan yang diajukan oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia;
b. permintaan yang diajukan oleh Warga
Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B
sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang
berlaku;
c. permintaan yang diajukan oleh Negara
Mitra P3B; atau
d. hal yang dianggap perlu oleh dan atas
inisiatif Direktur Jenderal Pajak.
BAB II
TATA CARA PENGAJUAN
DAN PELAKSANAAN MAP DARI WAJIB PAJAK
DALAM NEGERI
INDONESIA ATAU WARGA NEGARA INDONESIA YANG
MENJADI WAJIB PAJAK
DALAM NEGERI NEGARA MITRA P3B
Pasal 3
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilakukan antara lain dalam hal:
a. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena melakukan praktik Transfer
Pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara
Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa;
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan
mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan
dengan keberadaan atau penghasilan bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B;
c. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan
mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan
dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau
d. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang
juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan
konsultasi dalam rangka MAP untuk menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak
dalam negeri dari salah satu negara tersebut.
(2) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan dalam hal Warga Negara
Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B
dikenakan atau akan dikenakan pajak di Negara Mitra P3B yang lebih berat
dibandingkan dengan yang dikenakan oleh Negara Mitra P3B kepada warganegaranya
(kasus non diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B yang berlaku).
(3) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan dalam P3B yang berlaku.
Pasal 4
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a disampaikan dengan permohonan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya
mengenai:
a. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat,
dan jenis usaha Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan;
b. nama, Nomor Identitas Wajib Pajak,
alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak di Negara Mitra P3B yang mempunyai hubungan
istimewa dengan Wajib Pajak yang mengajukan permintaan, khusus dalam hal
terkait dengan transaksi Transfer Pricing;
c. tindakan yang telah dilakukan oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B atau otoritas pajak Negara Mitra P3B,
yang telah dianggap tidak sesuai dengan ketentuan P3B oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia;
d. penjelasan apakah Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia telah mengajukan atau akan mengajukan permohonan pembetulan,
keberatan, permohonan banding kepada badan peradilan pajak, atau permohonan
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), atau Pasal 36 ayat (1)
huruf b Undang-Undang KUP, atas hal-hal yang dimintakan MAP;
e. Tahun Pajak sehubungan dengan
permintaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
f. penjelasan mengenai transaksi yang
telah dilakukan koreksi oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B, yang meliputi
substansi transaksi, nilai koreksi, dan dasar dilakukannya koreksi;
g. pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia sehubungan dengan koreksi yang telah dilakukan oleh otoritas Negara
Mitra P3B Indonesia;
h. pihak yang dapat dihubungi oleh
Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permintaan untuk
melaksanakan MAP yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia;
i. nama kantor pajak Negara Mitra P3B,
jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait
dalam hal diketahui oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan
permintaan MAP; dan
j. ketentuan dalam P3B yang menurut Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak diterapkan secara benar dan pendapat Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia atas penerapan dari ketentuan P3B tersebut,
apabila permintaan MAP berkaitan dengan penerapan ketentuan P3B yang tidak
semestinya.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau
wakilnya yang sah berdasarkan ketentuan Undang-Undang KUP, dan dalam hal
ditandatangani oleh kuasa, wajib dilampiri surat kuasa khusus.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam
jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan atau akan dikenakan pajak yang
tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib
meneliti kelengkapan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
melengkapi dengan dokumen-dokumen perpajakan yang terkait yang terdapat dalam
administrasi Kantor Pelayanan Pajak, untuk selanjutnya diteruskan kepada
Direktur Peraturan Perpajakan II paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima lengkap.
(5) Dalam hal permintaan MAP disampaikan
tidak lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberikan surat pemberitahuan
kepada Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender
sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima, yang menyatakan bahwa
permintaan untuk melaksanakan MAP tidak lengkap dan meminta Wajib Pajak untuk
melengkapi hal-hal yang belum lengkap.
(6) Direktur Peraturan Perpajakan II
meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(7) Dalam hal permintaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diproses lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan
Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II
mengirimkan permintaan MAP secara tertulis kepada Pejabat yang Berwenang di
Negara Mitra P3B.
(8) Direktur Peraturan Perpajakan II atas
nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan setelah melewati batas waktu penyampaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3);
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas
permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan keberatan
dimaksud; atau
c. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas permasalahan
yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan Banding dimaksud;
paling lama dalam jangka waktu 15
(lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima
dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau sejak diketahui Wajib Pajak yang
bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak
atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
(9) Direktur Peraturan Perpajakan II dapat
meminta penjelasan lebih lanjut kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia,
termasuk meminta dokumen-dokumen pendukung dan informasi yang diperlukan, serta
dapat meminta informasi atau bantuan dari direktorat lain, unit pelaksana
teknis dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
Pasal 5
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b disampaikan dengan permohonan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan II
dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya mengenai:
a. nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga
Negara Indonesia yang mengajukan permintaan;
b. tindakan atau pengenaan pajak yang
telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B yang dianggap lebih berat
dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak
Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga negaranya sendiri;
c. Tahun
Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan;
d. pihak yang dapat dihubungi oleh
Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permohonan yang telah
disampaikan oleh yang bersangkutan; dan
e. nama kantor pajak Negara Mitra P3B,
jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait
dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam
jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah yang
bersangkutan dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan
ketentuan dalam P3B.
(3) Direktur Peraturan Perpajakan II
meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal permintaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diproses lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan
Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II
mengirimkan permintaan secara tertulis untuk melaksanakan MAP kepada Pejabat
yang Berwenang di Negara Mitra P3B.
(5) Direktur Peraturan Perpajakan II atas
nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dalam hal permintaan untuk melaksanakan MAP disampaikan setelah melewati
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permintaan untuk
melaksanakan MAP dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B Indonesia
yang berlaku, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalendar
sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima.
Pasal 6
(1) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP juga mengajukan
permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat
ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat
(1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat memproses
pengajuan permintaan MAP.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan
Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya keputusan atas permohonan pembetulan
atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan
atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum
menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang
bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak
atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak
menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib
Pajak, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak
diketahui Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada
Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
Pasal 7
(1) Dalam
hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan
konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk
menindaklanjuti permintaan MAP yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam
Negeri Negara Mitra P3B.
(2) Sebelum dicapainya Persetujuan Bersama,
Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia
yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B mengenai isi
rancangan Persetujuan Bersama untuk memperoleh konfirmasi bahwa yang
bersangkutan dapat menerima isi rancangan Persetujuan Bersama.
(3) Direktur Jenderal Pajak menyepakati
Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B setelah Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam
Negeri Negara Mitra P3B memberikan konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat
menerima kesepakatan dimaksud.
(4) Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus diberikan paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
kalender sejak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama
mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang di Indonesia sebagaimana
tercantum dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat
Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak,
Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan, pengurangan atau pembatalan atas
surat ketetapan pajak atau surat keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
(6) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan
Persetujuan Bersama kepada Wajib Pajak secara tertulis.
Pasal 8
(1) Direktur Jenderal Pajak menghentikan
pelaksanaan MAP dalam hal:
a. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau
Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra
P3B yang menyampaikan permintaan untuk melaksanakan MAP:
1) menyampaikan surat pembatalan
permintaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak;
2) tidak menyetujui isi rancangan
Persetujuan Bersama;
3) tidak memenuhi seluruh permintaan data,
informasi, atau dokumen yang diperlukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
4) menyampaikan informasi yang tidak benar
kepada Direktur Jenderal Pajak; atau
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang
menyampaikan permintaan untuk melaksanakan MAP mengajukan permohonan keberatan
kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan
pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak mengenai penghentian pelaksanaan
MAP, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak
penghentian diputuskan.
Pasal 9
Tata Cara
Pengajuan dan Pelaksanaan MAP dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau
Warga Negara Indonesia yang Menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini yang merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.
BAB III
TATA CARA PENANGANAN
PERMINTAAN MAP
DARI NEGARA MITRA P3B
Pasal 10
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilakukan antara lain dalam hal:
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
surat ketetapan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang dianggap tidak
sesuai dengan ketentuan dalam P3B;
b. terjadi koreksi Transfer Pricing di
Indonesia atas Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. Negara Mitra P3B meminta dilakukan
Corresponding Adjustments sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang
dilakukan otoritas Pajak negara yang bersangkutan atas Wajib Pajak dalam
negerinya yang melakukan transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia;
d. terjadi pemotongan pajak oleh Wajib
Pajak di Indonesia sehubungan dengan penghasilan yang bersumber dari Indonesia
yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B; atau
e. penentuan negara domisili dari Wajib
Pajak yang mempunyai status sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dan
Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B (Dual Residence).
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menolak
permintaan MAP yang diajukan oleh Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan
koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh Negara Mitra P3B yang
bersangkutan, dalam hal tidak terdapat ketentuan mengenai Corresponding
Adjustments dalam P3B Indonesia yang berlaku.
Pasal 11
(1) Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur
Peraturan Perpajakan II memberitahukan permintaan untuk melaksanakan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak yang terkait dengan permintaan dimaksud terdaftar.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi informasi mengenai:
a. nama
Negara Mitra P3B yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP;
b. tanggal
diterimanya permintaan MAP;
c. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan
alamat bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait;
d. nama dan alamat Wajib Pajak Dalam
Negeri Negara Mitra P3B yang terlibat, dalam hal terjadi kasus Transfer
Pricing; dan
e. nama dan alamat Wajib Pajak terkait
serta Tahun Pajak yang akan dibahas dalam kasus Dual Residence.
Pasal 12
(1) Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan
MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c untuk permintaan MAP sehubungan
dengan Corresponding Adjustments dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
yang terkait tidak mengajukan permintaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II atas
nama Direktur Jenderal Pajak meminta pernyataan secara tertulis dari Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia untuk memastikan bahwa yang bersangkutan tidak
mengajukan permintaan MAP.
Pasal 13
Dalam hal
pokok permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah pemotongan atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak di Indonesia yang dianggap tidak sesuai
dengan ketentuan P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan secara
tertulis kepada Wajib Pajak dimaksud mengenai permintaan MAP dari Negara Mitra
P3B dan dapat meminta penjelasan mengenai dasar pemotongan atau pemungutan
pajak, substansi transaksi, dan meminta dokumen yang diperlukan melalui Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Pasal 14
Dalam
menindaklanjuti permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c,
Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta informasi atau bantuan dari
direktorat lain, unit pelaksana teknis dan/atau unit vertikal di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 15
(1) Dalam hal permintaan MAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c terkait dengan bentuk usaha tetap di Indonesia
dan bentuk usaha tetap dimaksud juga mengajukan permohonan pembetulan atau
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP,
Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan MAP dan memproses permohonan
pembetulan atau permohonan pengurangan, atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan
Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya keputusan atas permohonan pembetulan
atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan
atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum
menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak yang terkait dengan permintaan
untuk melaksanakan MAP mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal
Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal
Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada
Negara Mitra P3B yang mengajukan permintaan MAP.
Pasal 16
(1) Dalam hal dipandang perlu atau atas
permintaan Negara Mitra P3B Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak dapat
melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra
P3B yang bersangkutan untuk menindaklanjuti permohonan MAP yang dilakukan oleh
negara mitra dimaksud.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak
menyepakati Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan
Perpajakan II segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang terkait terdaftar.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak segera
menyampaikan Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.
(4) Dalam hal Persetujuan Bersama
mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang di Indonesia dalam surat
ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Pengurangan
atau Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak
melakukan pembetulan, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau
surat keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama berkaitan
dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia, tindak
lanjutnya dapat dilakukan berdasarkan prosedur atau tata cara pengembalian
pajak yang seharusnya tidak terutang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 17
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menolak
atau menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal:
a. permintaan MAP disampaikan oleh Negara
Mitra P3B setelah batas waktu pelaksanaan MAP sebagaimana ditetapkan dalam P3B;
b. pokok permohonan yang diajukan oleh
Negara Mitra P3B tidak termasuk ke dalam ruang lingkup MAP sebagaimana diatur
dalam P3B yang berlaku;
c. Negara
Mitra P3B membatalkan permintaan MAP;
d. permintaan melaksanakan MAP terkait
dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan bentuk usaha tetap dimaksud
mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan
banding kepada badan peradilan pajak;
e. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang
terkait dengan permintaan MAP sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang
dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B atas Wajib Pajak Dalam
Negerinya, tidak mengajukan permohonan MAP;
f. Wajib Pajak yang diterbitkan surat
ketetapan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak yang menjadi fokus dari
permintaan MAP tidak memberikan seluruh dokumen yang diperlukan;
g. Direktorat Jenderal Pajak tidak mungkin
untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk melaksanakan
konsultasi dalam rangka MAP karena telah terlewatinya waktu yang lama setelah
penerbitan surat ketetapan pajak di Indonesia; atau
h. terdapat indikasi kuat bahwa
pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP tidak akan menghasilkan keputusan yang
tepat.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan
Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B bersepakat untuk menghentikan
pelaksanaan MAP, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.
Pasal 18
Tata Cara
Penanganan Permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu
bagian yang tidak terpisahkan.
BAB IV
PELAKSANAAN MAP ATAS
INISIATIF DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 19
Direktur
Jenderal Pajak dapat mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf d tanpa berdasarkan permintaan dari Wajib Pajak
Dalam Negeri Indonesia atau dari Negara Mitra P3B, untuk:
a. meninjau ulang (me-review) Persetujuan
Bersama yang telah disepakati sebelumnya karena terdapat indikasi
ketidakbenaran informasi atau dokumen yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia maupun Negara Mitra P3B;
b. meminta dilakukan Corresponding
Adjustments atas koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan
transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B;
c. membuat penafsiran atas suatu ketentuan
tertentu dalam P3B yang diperlukan dalam pelaksanaan P3B yang bersangkutan;
atau
d. melaksanakan hal-hal lain yang
diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan P3B.
Pasal 20
Direktur
Peraturan Perpajakan II dapat meminta dokumen dan/atau informasi tambahan yang
terkait dengan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dari Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia atau melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia tersebut terdaftar.
Pasal 21
(1) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak
mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP kepada Negara Mitra P3B
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II memberitahukan secara
tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait mengenai:
a. tanggal
pengajuan permintaan untuk melaksanakan MAP;
b. nama
Negara Mitra P3B yang terkait;
c. pokok-pokok
yang diajukan dalam surat permintaan MAP;
d. argumentasi
pengajuan permintaan MAP; dan
e. informasi
lain yang diperlukan.
(2) Dalam hal dipandang perlu, Direktorat
Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang
Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk menindaklanjuti MAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19.
(3) Dalam hal tercapai Persetujuan Bersama
dengan Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Persetujuan Bersama
secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.
(4) Dalam hal pelaksanaan MAP yang berkaitan
dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dihentikan tanpa menghasilkan
Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II
menyampaikan pemberitahuan penghentian MAP kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
terkait.
Pasal 22
Tata Cara
Pelaksanaan MAP atas Inisiatif Direktur Jenderal Pajak adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang
merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.
BAB V
PELAKSANAAN
KONSULTASI DALAM RANGKA MAP
Pasal 23
(1) Pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam
rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), dan
Pasal 21 ayat (2) dilakukan oleh Direktorat Peraturan Perpajakan II atau oleh
Tim Pelaksana/Delegasi Perunding yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak
dengan mempertimbangkan masukan dari Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II memberi
masukan kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai direktorat, unit pelaksana
teknis, dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam pelaksanaan MAP untuk
menjadi bagian dari Tim Pelaksana/Delegasi Perunding.
(3) Direktorat Peraturan Perpajakan II atau
Tim Pelaksana/Delegasi Perunding menyiapkan posisi Direktorat Jenderal Pajak
dalam pelaksanaan MAP dan melaksanakan MAP sesuai dengan posisi yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 24
(1) Dalam hal permintaan untuk melaksanakan
MAP terkait dengan koreksi Transfer Pricing, Direktur Jenderal Pajak dapat
membentuk Tim Khusus yang mempunyai tugas menyiapkan posisi (position paper)
Direktorat Jenderal Pajak, melakukan koordinasi serta supervisi atas unit-unit
yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP yang terkait dengan
koreksi Transfer Pricing, dan menjadi anggota delegasi perunding dalam
pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP.
(2) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari perwakilan Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan, dan unit pelaksana pemeriksaan yang terkait dengan
koreksi Transfer Pricing yang akan dibahas dalam pelaksanaan pertemuan
konsultasi dalam rangka MAP.
(3) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat meminta data, informasi atau dokumen yang diperlukan terkait
dengan koreksi Transfer Pricing kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang
terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP.
(4) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia tidak memenuhi seluruh permintaan data, informasi atau dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan
pelaksanaan MAP tersebut.
Pasal 25
Direktur
Jenderal Pajak mengembalikan dokumen Wajib Pajak yang disampaikan dalam rangka
pelaksanaan MAP dalam hal:
a. pelaksanaan MAP batal untuk
dilaksanakan atau dihentikan; atau
b. telah dicapai Persetujuan Bersama
dengan Negara Mitra P3B.
Pasal 26
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai
berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 3 November 2010
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-52/PJ/2009
TANGGAL 24 SEPTEMBER 2009
TENTANG
PENUNJUKAN PEMOTONG,
TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS
PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG
DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan
dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang diatur dalam
Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penunjukan Pemotong, Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas
Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang
Diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan
dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam
Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN,
PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI
PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4
AYAT (2) UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK LUAR NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA.
Pasal 1
(1) Atas penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat
final.
(2) Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang
berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25 % (dua puluh lima persen) dari
harga jual.
(4) Penjualan atau pengalihan harta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan atau pengalihan harta
berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik,
lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.
Pasal 2
(1) Penghasilan dari penjualan atau
pengalihan harta di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 26 oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepada Wajib
Pajak Luar Negeri selaku penjual diberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 26.
(2) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Luar
Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan
harta yang besarnya tidak melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk
setiap jenis transaksi, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1).
Pasal 3
(1) Pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah badan pemerintah,
subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi sebagai Wajib
Pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.
(2) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam
negeri yang ditunjuk sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter,
Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang
pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 4
Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri terdaftar
menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan Orang Pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri
sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) dengan menggunakan bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib:
a. memotong Pajak Penghasilan Pasal 26
yang terutang pada saat dilakukan pembayaran atau saat terutangnya penghasilan,
tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu; dan
b. menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26
dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menjual atau mengalihkan
harta paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan
terjadinya transaksi ke kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang dltunjuk
oleh Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, maka saat penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
(3) Penyetoran Pajak Penghasilan dilakukan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(4) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) memberikan tanda bukti pemotongan
kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dipotong
Pajak Penghasilan setiap melakukan pemotongan.
Pasal 6
(1) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan
Pasal 26 yang dipotong dengan Surat Pemberitahuan Masa kepada Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan
berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal jatuh tempo pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, maka saat pelaporan dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
Pasal 7
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 24 September 2009
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-
/PJ/2009 TENTANG PENUNJUKAN PEMOTONG, TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU
PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA, KECUALI YANG DIATUR DALAM PASAL 4 AYAT (2)
UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR
NEGERI SELAIN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA
DEPARTEMEN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR PELAYANAN
PAJAK
…………………………
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KEPUTUSAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP-
TENTANG
PENUNJUKAN ORANG
PRIBADI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI SEBAGAI PEMOTONG PAJAK
PENGHASILAN PASAL 26
AYAT (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR
36 TAHUN 2008
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang : bahwa
Orang Pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri:
Nama : ………………………………………….
NPWP : ………………………………………….
memenuhi
syarat untuk ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (2)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Mengingat : 1. Pasal
26 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
82/PMK.03/2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan
dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia, Kecuali yang Diatur dalam
Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER- /PJ/2009 tentang Penunjukan
Pemotong, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia,
Kecuali yang Diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : 1. Menunjuk:
Nama : ……………………………………….
NPWP : ……………………………………….
Alamat : ……………………………………….
sebagai
pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, atas pembayaran sehubungan dengan
penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4
ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2009;
2. Penunjukan ini berlaku sejak tanggal
…………………………………
Ditetapkan
di ……...………
pada
tanggal ………......…
A.n.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
KEPALA
KANTOR PELAYANAN PAJAK
ttd
…………………………………..
NIP
Tembusan:
Kepala
Kanwil DJP ………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar