PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 100/PMK.03/2011
TANGGAL 11 JULI 2011
TENTANG
TATA CARA
PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PERATURAN PEMERINTAH nomor 94
TAHUN 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus
Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 94 TAHUN
2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun
2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
Pasal 2
(1) Surplus Bank Indonesia merupakan objek
Pajak Penghasilan.
(2) Surplus Bank Indonesia yang merupakan
objek Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan
audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(3) Laporan keuangan audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil audit yang dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan.
(4) Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai
dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan atas:
a. pengakuan
keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing;
b. penyisihan
aktiva; dan
c. penyusutan
aktiva tetap.
Pasal 3
(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai
dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui sebagai
penghasilan atau yang dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak adalah keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang
asing yang telah direalisasi, yang diperoleh dari selisih antara kurs jual mata
uang asing pada tanggal transaksi dengan harga perolehan rata-rata.
Pasal 4
(1) Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b, dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(2) Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan terhadap piutang tak tertagih berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sebagaimana diatur dalam
Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(3) Kerugian yang berasal dari piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak
tertagih.
(4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah kelebihan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai penghasilan.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak
tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.
Pasal 5
Penyusutan
aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf c atas
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang PPh
beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 6
(1) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh
sebelum Tahun Pajak 2009, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dasar penyusutan sejak Tahun Pajak 2009
menggunakan nilai sisa buku per tanggal 31 Desember 2008 sesuai dengan Pedoman
Akuntansi Keuangan Bank Indonesia; dan
b. nilai sisa buku per tanggal 31 Desember
2008 dianggap sebagai harga perolehan Tahun Pajak 2009 dengan menggunakan
kelompok harta berwujud sesuai masa manfaat sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang PPh.
(2) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan
sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sebelum Tahun Pajak 2009,
diperlakukan sebagai biaya pada tahun pengeluaran.
(3) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan
sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sejak Tahun Pajak 2009,
pembebanan harta berwujud dimaksud dilakukan melalui penyusutan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 7
Penyesuaian
atau koreksi fiskal yang terkait dengan surplus Bank Indonesia yang tidak
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, mengikuti peraturan
perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan yang berlaku secara umum.
Pasal 8
(1) Besarnya angsuran pajak dalam Tahun
Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia untuk setiap
bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan
tarif umum atas surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) menurut Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) Tahun Pajak yang
bersangkutan yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dikurangi
dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang PPh serta Pajak Penghasilan
yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang PPh; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 Undang-Undang PPh,
dibagi 12 (dua belas).
(2) Jika dalam Tahun Pajak berjalan terdapat
perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) yang telah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia dihitung kembali berdasarkan
perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) tersebut dan berlaku
mulai Masa Pajak berikutnya setelah bulan disetujuinya perubahan atas Anggaran
Tahunan Bank Indonesia (ATBI).
Pasal 9
Kekurangan
pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan, paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang KUP beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 10
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 11 Juli 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 11 Juli 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 396
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 244/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
JENIS JASA LAIN
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (1)
huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, imbalan sehubungan dengan jasa lain selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipotong Pajak
Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas imbalan dimaksud;
b. bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Menteri
Keuangan berwenang mengatur jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan pada
huruf a dan huruf b dimaksud, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c
Angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23
AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008.
Pasal 1
(1) Imbalan sehubungan dengan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. Jasa
penilai (appraisal);
b. Jasa
aktuaris;
c. Jasa
akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa
perancang (design);
e. Jasa pengeboran (drilling) di bidang
penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk
usaha tetap (BUT);
f. Jasa
penunjang di bidang penambangan migas;
g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di
bidang penambangan selain migas;
h. Jasa
penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
i. Jasa
penebangan hutan;
j. Jasa
pengolahan limbah;
k. Jasa
penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
l. Jasa
perantara dan/atau keagenan;
m. Jasa di bidang perdagangan surat-surat
berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
n. Jasa
kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
o. Jasa
pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
p. Jasa
mixing film;
q. Jasa sehubungan dengan software
komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
r. Jasa instalasi/pemasangan mesin,
peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
s. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan
mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat
transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
t. Jasa
maklon;
u. Jasa
penyelidikan dan keamanan;
v. Jasa
penyelenggara kegiatan atau event organizer;
w. Jasa
pengepakan;
x. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu
dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
y. Jasa
pembasmian hama;
z. Jasa
kebersihan atau cleaning service;
aa. Jasa
katering atau tata boga.
(3) Dalam hal penerima imbalan sehubungan
dengan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen)
daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 2
(1) Jasa penunjang di bidang penambangan
migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf f adalah jasa penunjang
di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa:
a. Jasa penyemenan dasar (primary
cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat di antara pipa selubung
dan lubang sumur;
b. Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing),
yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud:
- Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;
- Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
- Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;
- Penutupan sumur.
c. Jasa pengontrolan pasir (sand control),
yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi
tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan
kemungkinan tersumbatnya pipa;
d. Jasa pengasaman (matrix acidizing),
yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikan
produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak
diinginkan;
e. Jasa peretakan hidrolika (hydraulic),
yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya
perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil;
f. Jasa nitrogen dan gulungan pipa
(nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan
cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang
terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai
akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam
sumur;
g. Jasa uji kandung lapisan (drill steam
testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi
kemampuan berproduksi;
h. Jasa
reparasi pompa reda (reda repair);
i. Jasa
pemasangan instalasi dan perawatan;
j. Jasa
penggantian peralatan/material;
k. Jasa
mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;
l. Jasa
mud engineering;
m. Jasa
well logging & perforating;
n. Jasa
stimulasi dan secondary decovery;
o. Jasa
well testing & wire line service;
p. Jasa
alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
q. Jasa
pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;
r. Jasa
mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;
s. Jasa
lainnya yang sejenis di bidang pengeboran migas.
(2) Jasa penambangan dan jasa penunjang di
bidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
huruf g adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan
umum berupa:
a. Jasa
pengeboran;
b. Jasa
penebasan;
c. Jasa
pengupasan dan pengeboran;
d. Jasa
penambangan;
e. Jasa
pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum;
f. Jasa
pengolahan bahan galian;
g. Jasa
reklamasi tambang;
h. Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal,
manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;
i. Jasa
lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.
(3) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan
bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf h adalah berupa:
a. Bidang
aeronautika, termasuk:
1. Jasa pendaratan, penempatan,
penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan dengan pendaratan pesawat
udara;
2. Jasa penggunaan jembatan pintu (avio
bridge);
3. Jasa pelayanan penerbangan;
4. Jasa ground handling, yaitu pengurusan
seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta
kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang
datang, selama pesawat udara di darat;
5. Jasa penunjang lain di bidang
aeronautika.
b. Bidang
non-aeronautika, termasuk:
1. Jasa catering di pesawat dan jasa
pembersihan pantry pesawat;
2. Jasa penunjang lain di bidang
non-aeronautika.
(4) Jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (2) huruf t adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian
suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi
jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah
jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau
seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi
berada pada pengguna jasa.
(5) Jasa penyelenggara kegiatan atau event
organizer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf v adalah kegiatan
usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara
lain penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar,
peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa
penyelenggara kegiatan.
Pasal 3
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-1/PJ/2011
TANGGAL 10 JANUARI 2011
TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN
PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN
OLEH PIHAK LAIN
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka pelaksanaan Pasal 21 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun
2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan
dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun
2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Tahun 2010 Nomor
161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5138);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI
PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN.
Pasal 1
(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
a. mengalami
kerugian fiskal;
b. berhak
melakukan kompensasi kerugian fiskal;
c. Pajak Penghasilan yang telah dan akan
dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya
hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku terhadap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 2
(1) Pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat (1) dan
ayat (2) diberikan Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 3
Surat
Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan kepada:
a. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena
mengalami kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a,
dalam hal:
1) Wajib
Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi;
2) Wajib
Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial; atau
3) Wajib
Pajak mengalami suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan (force majeur).
b. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena berhak
melakukan kompensasi kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) huruf b, dengan memperhitungkan besarnya kerugian tahun-tahun pajak
sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak.
c. Wajib Pajak yang dapat membuktikan
Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak
Penghasilan yang akan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf c.
d. Wajib Pajak yang atas penghasilannya
hanya dikenakan pajak bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(2).
Pasal 4
(1) Permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) dan ayat (2), diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dengan syarat telah menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir sebelum tahun
diajukan permohonan kecuali untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 huruf a angka 1).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23 dengan menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilampiri penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan
terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan untuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b, dan huruf c.
Pasal 5
(1) Atas permohonan pembebasan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan dengan
menerbitkan:
a. Surat
Keterangan Bebas; atau
b. surat
penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum memberikan
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(3) Dalam hal permohonan Wajib Pajak
dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan
Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari
kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlewati.
Pasal 6
Surat
Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 2 berlaku sampai dengan berakhirnya
tahun pajak yang bersangkutan.
Pasal 7
Bentuk
formulir Surat Keterangan Bebas untuk:
a. pemotongan dan/atau pemungutan PPh
Pasal 21/Pasal 22/Pasal 23 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II,
b. pemungutan PPh Pasal 22 impor adalah
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III
yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
Pasal 8
Dalam hal
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditolak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus
menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak dengan mempergunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
Pasal 9
Pada saat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-192/PJ/2002 tentang Tata Cara Penerbitan Surat
Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2011.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 10 Januari 2011
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-33/PJ/2009
TANGGAL 4 JUNI 2009
TENTANG
PERLAKUAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
Dalam
rangka memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan atas
penghasilan berupa royalti dari hasil karya sinematografi, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas
penghasilan berupa royalti dari hasil Karya Sinematografi;
Mengingat :
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI.
Pasal 1
(1) Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi
dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi:
a. dengan pemindahan seluruh hak cipta
tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi
di kemudian hari;
b. dengan memberikan hak menggunakan hak
cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau
memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya, dengan persyaratan tertentu
seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu atau wilayah
tertentu;
c. dengan memberikan hak menggunakan hak
cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya
dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan pengusaha
bioskop; atau
d. dengan memberikan hak menggunakan hak
cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain tanpa hak untuk mengumumkan
dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah perjanjian yang dilakukan baik secara tertulis maupun tidak
tertulis.
Pasal 2
(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya Sinematografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf d, tidak termasuk dalam
pengertian royalti.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
pemegang hak cipta dari pemberian hak menggunakan hak cipta kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b dan huruf c, termasuk dalam
pengertian royalti.
Pasal 3
Jumlah
royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang menjadi dasar
pengenaan Pajak Penghasilan adalah:
a. sebesar seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal pemanfaatan dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b; dan
b. sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal
pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf c.
Pasal 4
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
Tanggal : 4 Juni 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19
TAHUN 2009
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI.
Pasal 1
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
Pasal 2
Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 4
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
SURAT DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR
S-08/PJ.032/2008 TANGGAL 07 JANUARI 2008
TENTANG
PERMOHONAN PENEGASAN
ATAS PERLAKUAN PENGENAAN PPh PASAL 23 ATAS JASA PERIKLANAN BERDASARKAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-70/PJ/2007
Sehubungan
dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 11 Oktober 2007 perihal sebagaimana
tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam surat tersebut Saudara
mengemukakan bahwa:
a. Secara umum, anggota PPPI dalam
melakukan kegiatannya bisa memberikan beberapa jasa, antara lain pembuatan
materi iklan, pemasangan iklan di media dan pemberian konsultasi periklanan;
b. Dalam melaksanakan kegiatan pembuatan
materi iklan bisa dilakukan sendiri oleh perusahaan periklanan dan bisa diserahkan
ke pihak ketiga. Apabila materi iklan dibuat sendiri oleh perusahaan periklanan
maka seluruh penghasilan dari klien merupakan penghasilan perusahaan
periklanan, namun apabila pembuatan materi iklan diserahkan kepada pihak
ketiga, maka perusahaan periklanan hanya melakukan supervisi. Sehingga tagihan
perusahaan periklanan ke klien sebesar tagihan dari pihak ketiga ditambah
dengan fee jasa supervisi;
c. Dalam melaksanakan kegiatan pemasangan
iklan di media, penghasilan dari perusahaan periklanan adalah selisih tagihan
perusahaan periklanan ke pihak klien dikurangi dengan tagihan dari perusahaan
media;
d. Berdasarkan penjelasan di atas, Saudara
mohon agar dapat diberikan penegasan lebih lanjut mengenai teknis pemotongan
PPh Pasal 23 sesuai dengan PER-70/PJ/2007.
2. Ketentuan yang terkait:
a. Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, mengatur bahwa atas
penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas
persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa toknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-70/PJ./2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, mengatur antara lain:
1) Pasal 1 ayat (1), atas penghasilan sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang
dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan
penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar;
2) Pasal 1 ayat (2), imbalan jasa yang
atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultansi dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 21;
3) Pasal 3, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tersebut;
4) Pasal 4, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersebut;
5) Lampiran II Romawi III angka 25, Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 10%
dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN.
3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas
dan memperhatikan isi surat Saudara dengan ini disampaikan sebagai berikut:
a. Teknis pemotongan PPh Pasal 23 sesuai
dengan PER-70/PJ/2007 adalah atas penghasilan sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang dibayarkan oleh
badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya atau oleh
orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong Pajak
Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto
oleh pihak yang wajib membayar, sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b
angka 1).
b. Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto
atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
serta imbalan jasa adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran
II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tersebut.
c. Dalam hal Saudara melakukan pembayaran
atas sewa atau penggunaan harta sebagaimana dimaksud dialam butir 2 huruf b
angka 3) atau pembayaran atas jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b
angka 4), maka atas pembayaran tersebut dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
peikiraan penghasilan neto.
Demikian
untuk dimaklumi.
A.n.
DIREKTUR JENDERAL
Pjs.
DIREKTUR
ttd
SUMIHAR
PETRUS TAMBUNAN
SURAT DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR
S-09/PJ.032/2008 TANGGAL 07 JANUARI 2008
TENTANG
PERMOHONAN PENEGASAN
TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR PER-70/PJ/2007
Sehubungan
dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 30 Mei 2007 perihal sebagaimana
tersebut diatas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam surat tersebut Saudara
mengemukakan:
a. Sehubungan dengan telah terbitnya
Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-70/PJ/2007, dalam pelaksanaannya telah
terjadi multi tafsir sebagai berikut:
1) Definisi “jasa perantara”
Karena
tidak ada definisi jasa perantara yang jelas, maka banyak jenis jasa yang
ditafsirkan sebagai jasa perantara, antara lain : jasa freight forwarding, tour
and travel agency, agen pelayaran dan agen advertensi.
2) Dasar Pengenaan Pajak
Lampiran
II menyatakan bahwa dasar pengenaan pajak adalah prosentase dari jumlah imbalan
jasa tidak termasuk PPN. Karena tidak ada contoh penghitungan, maka telah
terjadi multi tafsir dalam penerapannya.
3) Jasa Internet
Lampiran
II nomor 25 memasukkan “jasa penyediaan tempat dan/atau waktu di dalam media
massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi”, sebagai
jasa lain. Beberapa KPP menafsirkan “media lain untuk penyampai informasi”
termasuk jasa internet, padahal jumlah yang harus dipotong kecil-kecil sehingga
menimbulkan biaya administrasi yang tinggi.
b. Agar terdapat kepastian hukum dan
pemungutan pajak yang sesuai dengan situasi dunia usaha, Saudara mengusulkan
agar dapat diberikan penegasan sebagai berikut:
1) Definisi “jasa perantara”
Jasa
Perantara adalah jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang bertindak sebagai
perantara dalam perikatan perjanjian di bidang tertentu, dengan mendapat
imbalan balas jasa atau pembagian keuntungan dan bertindak atas perintah atau
atas nama orang-orang yang tidak ada ikatan kerja tetap dengan dirinya, selain
jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
2) Dasar Pengenaan Pajak
Yang
dimaksud dengan “Jumlah Imbalan Jasa tidak termasuk PPN” adalah Jumlah Tagihan
Bruto tidak termasuk PPN dari pemberi jasa dikurangi dengan pembayaran kepada
pihak ketiga
3) Jasa Internet
Yang
dimaksud dengan media lain untuk informasi tidak termasuk jasa internet.
2. Ketentuan yang terkait:
a. Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur bahwa atas
penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas
persen) dan perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-70/PJ./2007 tanggal 9 April 2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, antara
lain mengatur bahwa:
1) Pasal 1 ayat (1), Atas penghasilan sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang
dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan
penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar;
2) Pasal 1 ayat (2), Imbalan jasa yang
atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultasi dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tersebut, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21;
3) Pasal 3, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tersebut;
4) Pasal 4, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersebut;
5) Pasal 5 ayat 1, Perkiraan Penghasilan
Neto adalah sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran I atau
lampiran II kolom (3) dikalikan dengan nilai sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta atau nilai imbalan jasa, tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
6) Lampiran II Romawi III angka 25, Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu di dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi dengan perkiraan penghasilan neto
sebesar 10% dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN;
3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas,
dan memperhatikan isi Surat Saudara dengan ini kami sampaikan:
a. Terima kasih atas usulan yang telah
Saudara sampaikan dan akan dipelajari dengan seksama.
b. Perlu
kami sampaikan juga bahwa:
1) Dasar Pengenaan Pajak dalam
penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Perkiraan Penghasilan Neto yaitu
sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran I atau lampiran II
kolom Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 dikalikan dengan
nilai sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta atau nilai
imbalan jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagaimana
dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 5) di atas;
2) Sesuai dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007, jasa Internet, jasa Freight Forwarding,
Tour Travel Agency, agen Pelayaran dan Agen Advertensi tidak tercantum sebagai
jasa yang atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. Oleh karena itu atas
pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat
unsur sewa atau penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b
angka 3) atau jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 4).
Demikian
untuk dimaklumi.
A.n.
DIREKTUR JENDERAL
Pjs.
DIREKTUR
ttd
SUMIHAR
PETRUS TAMBUNAN
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-11/PJ/2011
TANGGAL 20 JANUARI 2011
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-1/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN
PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN
OLEH PIHAK LAIN
Sehubungan
dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan
dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain, dengan ini disampaikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
adalah:
a. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena
mengalami kerugian fiskal, dalam hal:
1) Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih
dalam tahap investasi;
2) Wajib Pajak belum sampai pada tahap
produksi komersial; atau
3) Wajib Pajak mengalami suatu peristiwa
yang berada di luar kemampuan (force majeur).
b. Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena berhak
melakukan kompensasi kerugian fiskal.
c. Wajib Pajak yang dapat membuktikan
Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak
Penghasilan yang akan terutang.
d. Wajib
Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenakan pajak bersifat final.
2. Permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 tidak
berlaku terhadap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
3. Wajib Pajak yang baru berdiri
sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a angka 1) adalah Wajib Pajak yang
baru berdiri dalam tahun pajak berjalan.
4. Besarnya kompensasi kerugian fiskal
sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah kerugian tahun-tahun pajak
sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak.
5. Dalam hal Wajib Pajak mendapat Surat
Keputusan Keberatan atau Putusan Banding maka besarnya kompensasi kerugian
fiskal sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah kerugian tahun-tahun
pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam Surat
Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
6. Pajak Penghasilan yang telah dan akan
dibayar sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf c merupakan Pajak Penghasilan
yang bersifat tidak final yang telah dan akan dilunasi oleh Wajib Pajak dalam
tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain,
serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
7. Syarat-syarat pengajuan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan:
a. Permohonan diajukan secara tertulis
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar dengan
menggunakan formulir yang telah ditetapkan.
b. Satu permohonan diajukan untuk setiap
jenis pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21, Pasal 22 Impor, Pasal 22
selain Impor, dan Pasal 23.
c. Setiap permohonan dilampiri dengan
penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan terutang untuk tahun
pajak diajukannya permohonan, kecuali bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam butir 1 huruf d.
d. Wajib Pajak telah menyampaikan SPT
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak terakhir sebelum tahun diajukan
permohonan, kecuali bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a
angka 1).
8. Penghitungan Pajak Penghasilan yang
diperkirakan akan terutang sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf c paling
sedikit harus memuat:
a. peredaran usaha dan luar usaha tahun
berjalan serta perkiraan peredaran usaha dan luar usaha dalam satu tahun pajak;
b. biaya fiskal tahun berjalan dan
perkiraan biaya fiskal dalam satu tahun pajak, kecuali bagi Wajib Pajak yang
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto;
c. perkiraan
Pajak Penghasilan yang akan terutang dalam satu tahun pajak;
d. Pajak Penghasilan yang telah
dipotong/dipungut dan/atau dibayar sendiri dalam tahun berjalan; dan
e. perkiraan Pajak Penghasilan yang akan
dipotong/dipungut dan/atau dibayar sendiri dalam tahun berjalan.
9. Dalam hal SPT Tahunan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf d belum disampaikan karena Wajib Pajak
menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan maka Wajib Pajak yang bersangkutan
dianggap telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf d.
10. Kepala KPP harus memberikan keputusan
atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan, dengan menerbitkan:
a. Surat
Keterangan Bebas (SKB); atau
b. surat
penolakan permohonan SKB,
dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
11. Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir 7 dan butir 8, Kepala KPP harus
menerbitkan surat penolakan permohonan SKB.
12. Wajib Pajak yang telah mendapat surat
penolakan permohonan SKB sehubungan dengan tidak terpenuhinya persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam butir 7 dan butir 8, dapat mengajukan kembali
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.
13. Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam butir 10 Kepala KPP belum memberikan
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
14. Dalam hal permohonan Wajib Pajak
dianggap diterima sebagaimana dimaksud dalam butir 13, Kepala KPP wajib
menerbitkan SKB dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja setelah jangka waktu 5
(lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam butir 10 terlewati.
15. Dalam hal Wajib Pajak yang telah
mendapat SKB melakukan transaksi dengan lebih dari satu pemotong dan/atau
pemungut pajak maka Wajib Pajak dapat menggunakan fotokopi SKB yang telah
dilegalisasi oleh KPP yang menerbitkan SKB.
16. Tata cara legalisasi atas fotokopi SKB
dilakukan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak mengajukan permohonan
legalisasi SKB secara tertulis kepada Kepala KPP yang menerbitkan SKB dengan
mencantumkan nama dan NPWP pemotong dan/atau pemungut pajak.
b. Kepala KPP harus melakukan legalisasi
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja sejak permohonan legalisasi
diterima.
17. SKB
berlaku sejak tanggal diterbitkan sampai dengan tanggal terakhir tahun pajak
yang bersangkutan.
18. Apabila berdasarkan penelitian terhadap
Wajib Pajak yang telah mendapatkan SKB dapat dibuktikan bahwa Pajak Penghasilan
yang akan terutang lebih besar dari pada Pajak Penghasilan yang telah dan akan
dibayar dalam tahun berjalan maka Kepala KPP dapat melakukan penyesuaian
terhadap besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
dalam tahun berjalan sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
19. Prosedur penyelesaian permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini.
20. Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak diminta untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan atas pelaksanaan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak
Penghasilan oleh Pihak Lain oleh KPP yang berada di wilayah kerjanya.
Demikian
untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 20 Januari 2011
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
LAMPIRAN SURAT EDARAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-11/PJ/2011 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-1/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN
PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN
OLEH PIHAK LAIN
PROSEDUR PENYELESAIAN
PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN
DAN/ATAU PEMUNGUTAN
PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN
1. Wajib Pajak mengajukan permohonan Surat
Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan beserta
kelengkapannya kepada KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan
formulir yang telah ditetapkan.
2. Petugas TPT menerima permohonan SKB
Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan dan mencetak BPS dan LPAD. BPS
diserahkan kepada Wajib Pajak sedangkan LPAD digabungkan dengan surat
permohonan beserta kelengkapannya. Petuqas TPT kemudian merekam surat
permohonan dan dilanjutkan dengan meneruskan surat permohonan beserta
kelengkapannya ke Account Representative.
3. Account Representative membuat dan
menandatangani Uraian Penelitian Permohonan serta membuat konsep SKB atau surat
penolakan permohonan SKB, kemudian meneruskan kepada Kepala Seksi Pengawasan
dan Konsultasi.
4. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
meneliti, menandatangani Uraian Penelitian Permohonan, dan memberikan
persetujuan (approve) atas penerbitan SKB atau surat penolakan
permohonan SKB, kemudian meneruskan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menelaah,
menandatangani Uraian Penelitian Permohonan, dan memberikan persetujuan
(approve) atas penerbitan SKB atau surat penolakan permohonan SKB.
6. Kepala Seksi Pelayanan menerima uraian
penelitian permohonan dan menugaskan Pelaksana Seksi Pelayanan untuk mencetak
SKB atau surat penolakan permohonan SKB.
7. Pelaksana Seksi Pelayanan melakukan
pencetakan konsep SKB atau surat penolakan permohonan SKB, kemudian
menyampaikannya kepada Kepala Seksi Pelayanan.
8. Kepala Seksi Pelayanan meneliti dan
memaraf SKB atau surat penolakan permohonan SKB, kemu dian menyampaikannya kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
9. Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menyetujui dan menandatangani SKB atau surat penolakan permohonan SKB.
10. SKB atau Surat Penolakan Permohonan SKB
ditatausahakan di Seksi Pelayanan (SOP Tata Cara Penatausahaan Dokumen Wajib
Pajak) dan disampaikan kepada pihak-pihak terkait melalui Subbagian Umum (SOP
Tata Cara Penyampaian Dokumen di KPP).
11. Jangka waktu penyelesaian paling lama 5
(lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
NIP
1951042819751212002
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-35/PJ/2010
TANGGAL 9 MARET 2010
TENTANG
PENGERTIAN SEWA DAN
PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA, JASA TEKNIK, JASA
MANAJEMEN, DAN JASA KONSULTAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1)
HURUF C UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
Sehubungan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 23
Undang-Undang tersebut antara lain mengatur bahwa penghasilan berupa sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, jasa teknik, jasa
manajemen, dan jasa konsultan, dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak
yang wajib membayarkan. Dalam rangka untuk memberikan kesamaan pemahaman atas
pengertian sewa dan penggunaan harta serta jasa-jasa tersebut, perlu diberikan
penegasan sebagai berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN
1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa atas penghasilan tersebut di
bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah,
subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan, sebesar
2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a merupakan
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk
memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat
digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.
3. Jasa teknik sebagaimana dimaksud butir
1 huruf b merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu
pengetahuan yang dapat meliputi:
a. pemberian informasi dalam pelaksanaan
suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan
gelombang seismik;
b. pemberian informasi dalam pembuatan
suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk
gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
c. pemberian informasi yang berkaitan
dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan
atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna
jasa.
4. Jasa manajemen sebagaimana dimaksud
butir 1 huruf b merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung
dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
5. Jasa konsultan sebagaimana dimaksud
butir 1 huruf b merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau
nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang
dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai
dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Demikian
untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 9 Maret 2010
DIREKTUR
JENDERAL
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-53/PJ/2009
TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
JUMLAH BRUTO
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008
Sehubungan
dengan banyaknya pertanyaan mengenai jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 mengatur
bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang
wajib membayarkan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
2. Yang dimaksud dengan jumlah bruto
sebagaimana dimaksud pada butir 1 adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
tidak termasuk:
a. pembayaran gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. pembayaran
atas pengadaan/pembelian barang atau material;
c. pembayaran kepada pihak kedua (sebagai
perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga;
d. pembayaran penggantian biaya
(reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata
telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
3. Jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam
butir 2 tidak berlaku:
a. atas
penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau
b. dalam hal penghasilan yang dibayarkan
sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 1, telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
4. Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
butir 2 harus dapat dibuktikan dengan:
a. kontrak kerja dan daftar pembayaran
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a;
b. faktur
pembelian barang atau material sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b;
c. faktur tagihan dari pihak ketiga
disertai dengan perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c;
d. faktur tagihan atau bukti pembayaran
yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud
dalam butir 2 huruf d.
5. Untuk memberikan kejelasan, contoh
penerapan jumlah bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah
sebagaimana terdapat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 25 Mei 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
LAMPIRAN:
SURAT
EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-53/PJ/2009 TENTANG JUMLAH BRUTO ATAS
IMBALAN JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH
BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008
1. PT Sumber Tenaga merupakan perusahaan
penyedia tenaga kerja. PT Sumber Tenaga mendapat kontrak dari PT Maju Terus
untuk menyediakan tenaga kerja pemasaran sebanyak 20 orang dengan mendapat
imbalan jasa sebesar Rp20.000.000,- Tenaga kerja tersebut selanjutnya menjadi
pegawai PT Maju Terus.
Atas pembayaran yang dilakukan PT
Maju Terus kepada PT Sumber Tenaga dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Maju Terus
sebesar:
2% x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
2. PT Aman Jaya merupakan perusahaan
penyedia tenaga kerja untuk keamanan (satpam). PT Aman Jaya mendapat kontrak
penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Dwi Makmur. Tenaga
kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Jaya. Dalam Kontrak
disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh PT Aman Jaya terdiri dari
gaji untuk 20 orang satpam per bulan sebesar Rp20.000.000,00 dan imbalan atas
jasa penyediaan satpam per bulan sebesar Rp2.000.000,-.
a. Rincian
tagihan PT Aman Jaya kepada PT Dwi Makmur:
Pembayaran gaji 20 orang
satpam ................... Rp20.000.000,-
Imbalan Jasa
.................................................. Rp 2.000.000,-
b. Atas pembayaran yang dilakukan PT Dwi
Makmur kepada PT Aman jaya dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Dwi Makmur sebesar:
2% x Rp2.000.000,- =
Rp40.000,-
c. Dalam hal tidak ada bukti pendukung
atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh
Pasal 23 adalah sebesar Rp22.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus
dipotong oleh PT Dwi Makmur atas pembayaran kepada PT Aman Jaya adalah sebesar:
2% x Rp22.000.000,- =
Rp440.000,-
3. PT Megah (pihak pertama) melakukan
kontrak dengan PT Satu Sarana selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua)
untuk membuat iklan sekaligus memasang iklan pada perusahaan media (pihak
ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp103.000.000,-.
a. Rincian
tagihan PT Satu Sarana kepada PT Megah adalah:
1) pembelian material untuk pembuatan
iklan ......................... Rp15.000.000,-
2) jasa konsultan (terkait pembuatan dan
pemasangan iklan).... Rp 5.000.000,-
3) Fee agen
........................................................................... Rp 3.000.000,-
4) biaya pemasangan iklan ke perusahaan
media……………………. Rp80.000.000,-
b. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan
PT Satu Sarana atas pembayaran jasa pemasangan iklan kepada perusahaan media
adalah sebesar:
2% x Rp80.000.000,- =
Rp1.600.000,-
c. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan
PT Megah atas pembayaran jasa konsultasi dan jasa keagenan kepada PT Satu
Sarana adalah sebesar:
1) 2% x Rp5.000.000,- = Rp100.000,- untuk
jasa konsultasi; dan
2) 2% x Rp3.000.000,- = Rp 60.000,- untuk
jasa keagenan
d. Dalam hal tidak ada bukti pendukung
atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh
Pasal 23 adalah sebesar Rp103.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus
dipotong oleh PT Megah atas pembayaran kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
2% x Rp103.000.000,- =
Rp2.060.000,-
4. PT Terang mengikat kontrak dengan PT
Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan
spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati
bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT Garmindo
akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut
adalah sebesar Rp25.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Garmindo
mengeluarkan biaya sebesar Rp5.000.000,- untuk bahan tambahan.
a. Rincian
tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
Biaya untuk bahan
tambahan ...................................... Rp
5.000.000,-
Imbalan Jasa
maklon.................................................. Rp25.000.000,-
b. Atas pembayaran yang dilakukan PT
Terang kepada PT Garmindo dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Terang sebesar:
2% x Rp25.000.000,- =
Rp500.000,-
c. Dalam hal tidak ada bukti pendukung
atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh
Pasal 23 adalah sebesar Rp30.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus
dipotong oleh PT Terang atas pembayaran kepada PT Garmindo adalah sebesar:
2% x Rp30.000.000,- =
Rp600.000,-
5. Untuk acara pembukaan cabang baru, PT
Abadi meminta CV Sedap yang bergerak di bidang pengadaan catering untuk
menyediakan makanan yang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama, dan
makanan penutup untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang disepakati untuk
pengadaan catering tersebut adalah Rp20.000.000,-. Atas pembayaran yang
dilakukan PT Abadi kepada CV Sedap dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Abadi sebesar:
2% x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
NIP
130605098
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-58/PJ/2009
TANGGAL 04 JUNI 2009
TENTANG
PENYAMPAIAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-33/PJ/2009 TENTANG PERLAKUAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI
Sehubungan
dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-33/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa
Royalti Dari Hasil Karya Sinematografi, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Dalam peraturan perundang-undangan di
bidang hak cipta dijelaskan antara lain:
a. Hak cipta adalah merupakan hak
eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran,
pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan
menggunakan alat apa pun termasuk media internet, atau melakukan dengan cara
apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain;
c. Perbanyakan adalah penambahan jumlah
sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial
dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk
mengalihwujudkan secara permanen atau temporer;
d. Hak cipta terdiri atas hak ekonomi
(economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait. Hak moral
adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat
dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak
terkait telah dialihkan;
e. Pemegang hak cipta atas Karya
Sinematografi memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang
tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang
bersifat komersial;
f. Karya Sinematografi yang merupakan
media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi : film
dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario,
dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita
video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk
dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di
media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun
televisi atau perorangan;
g. Pemegang hak cipta adalah pencipta
sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta,
atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak
tersebut;
h. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh
pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk
mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan
persyaratan tertentu;
i. Pengertian "mengumumkan atau
memperbanyak", termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi,
mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor,
memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan
mengomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.
2. Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi
dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi,
yaitu:
a. dengan pemindahan seluruh hak cipta
tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi
di kemudian hari;
b. dengan memberikan hak menggunakan hak
cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau
memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya, dengan persyaratan tertentu
seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu atau wilayah
tertentu;
c. dengan memberikan hak menggunakan hak
cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya
dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan pengusaha
bioskop; atau
d. dengan memberikan hak menggunakan hak
cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain tanpa hak untuk mengumumkan
dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya.
3. Penghasilan yang diterima atau
diperoleh pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya Sinematografi
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a dan huruf d, tidak termasuk dalam
pengertian royalti.
4. Penghasilan yang diterima atau
diperoleh pemegang hak cipta dari pemberian hak menggunakan hak cipta kepada
pihak lain sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b dan huruf c, termasuk
dalam pengertian royalti.
5. Jumlah royalti sebagaimana dimaksud
dalam butir 4 yang menjadi dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah:
a. sebesar seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal pemanfaatan dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b; dan
b. sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal pemanfaatan
dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c.
6. Besarnya PPh atas royalti sebagaimana
dimaksud dalam butir 5 adalah:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari
jumlah bruto atas royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang
Pajak Penghasilan, atau
b. sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan atau menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang terkait.
7. Surat Keputusan Bersama Direktur
Jenderal Pajak Departemen Keuangan dan Direktur Jenderal Radio-Televisi-Film
Departemen Penerangan Nomor
KEP-266/PJ.2/1978
______________________
11/KEP/DIRJEN/RTF/1978
tanggal 23 Maret 1978 tentang
Tata-Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Atas Bunga, Dividen dan Royalty (PBDR)
Atas Royalty Penggunaan Hak Edar Film lmpor, karena bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan maka
surat keputusan tersebut sudah tidak berlaku sejak diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tersebut.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 04 Juni 2009
DIREKTUR
JENDERAL
ttd
DARMIN
NASUTION
Tidak ada komentar:
Posting Komentar