Senin, 24 Desember 2012

PPh Pasal 23


 PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 100/PMK.03/2011 TANGGAL 11 JULI 2011
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PERATURAN PEMERINTAH nomor 94 TAHUN 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         PERATURAN PEMERINTAH nomor 94 TAHUN 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4.         Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009.
2.         Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.

Pasal 2
(1)        Surplus Bank Indonesia merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2)        Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(3)        Laporan keuangan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
(4)        Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan atas:
            a.         pengakuan keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing;
            b.         penyisihan aktiva; dan
            c.         penyusutan aktiva tetap.

Pasal 3
(1)        Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(2)        Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui sebagai penghasilan atau yang dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang telah direalisasi, yang diperoleh dari selisih antara kurs jual mata uang asing pada tanggal transaksi dengan harga perolehan rata-rata.

Pasal 4
(1)        Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b, dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(2)        Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan terhadap piutang tak tertagih berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sebagaimana diatur dalam Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(3)        Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(4)        Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
(5)        Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 5
Penyusutan aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf c atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 6
(1)        Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh sebelum Tahun Pajak 2009, berlaku ketentuan sebagai berikut:
            a.         dasar penyusutan sejak Tahun Pajak 2009 menggunakan nilai sisa buku per tanggal 31 Desember 2008 sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia; dan
            b.         nilai sisa buku per tanggal 31 Desember 2008 dianggap sebagai harga perolehan Tahun Pajak 2009 dengan menggunakan kelompok harta berwujud sesuai masa manfaat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh.
(2)        Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sebelum Tahun Pajak 2009, diperlakukan sebagai biaya pada tahun pengeluaran.
(3)        Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sejak Tahun Pajak 2009, pembebanan harta berwujud dimaksud dilakukan melalui penyusutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 7
Penyesuaian atau koreksi fiskal yang terkait dengan surplus Bank Indonesia yang tidak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan yang berlaku secara umum.

Pasal 8
(1)        Besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) menurut Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) Tahun Pajak yang bersangkutan yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dikurangi dengan:
            a.         Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang PPh serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang PPh; dan
            b.         Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh,
dibagi 12 (dua belas).
(2)        Jika dalam Tahun Pajak berjalan terdapat perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia dihitung kembali berdasarkan perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) tersebut dan berlaku mulai Masa Pajak berikutnya setelah bulan disetujuinya perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI).

Pasal 9
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan, paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang KUP beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 10
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           11 Juli 2011

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 396




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 244/PMK.03/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008




MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, imbalan sehubungan dengan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas imbalan dimaksud;
b.         bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Menteri Keuangan berwenang mengatur jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
c.         bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b dimaksud, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008.

Pasal 1
(1)        Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
            a.         Jasa penilai (appraisal);
            b.         Jasa aktuaris;
            c.         Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
            d.         Jasa perancang (design);
            e.         Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
            f.          Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
            g.         Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
            h.         Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
            i.          Jasa penebangan hutan;
            j.          Jasa pengolahan limbah;
            k.         Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
            l.          Jasa perantara dan/atau keagenan;
            m.        Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
            n.         Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
            o.         Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
            p.         Jasa mixing film;
            q.         Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
r.          Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
s.         Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
            t.          Jasa maklon;
            u.         Jasa penyelidikan dan keamanan;
            v.         Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
            w.         Jasa pengepakan;
            x.         Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
            y.         Jasa pembasmian hama;
            z.          Jasa kebersihan atau cleaning service;
            aa.        Jasa katering atau tata boga.
(3)        Dalam hal penerima imbalan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 2
(1)        Jasa penunjang di bidang penambangan migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf f adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa:
a.         Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat di antara pipa selubung dan lubang sumur;
b.         Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud:
                        -           Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;
                        -           Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
                        -           Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;
                        -           Penutupan sumur.
c.         Jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa;
d.         Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan;
e.         Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil;
f.          Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;
g.         Jasa uji kandung lapisan (drill steam testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;
            h.         Jasa reparasi pompa reda (reda repair);
            i.          Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;
            j.          Jasa penggantian peralatan/material;
            k.         Jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;
            l.          Jasa mud engineering;
            m.        Jasa well logging & perforating;
            n.         Jasa stimulasi dan secondary decovery;
            o.         Jasa well testing & wire line service;
            p.         Jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
            q.         Jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;
            r.          Jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;
            s.         Jasa lainnya yang sejenis di bidang pengeboran migas.
(2)        Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf g adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa:
            a.         Jasa pengeboran;
            b.         Jasa penebasan;
            c.         Jasa pengupasan dan pengeboran;
            d.         Jasa penambangan;
            e.         Jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum;
            f.          Jasa pengolahan bahan galian;
            g.         Jasa reklamasi tambang;
            h.         Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;
            i.          Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.
(3)        Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf h adalah berupa:
            a.         Bidang aeronautika, termasuk:
1.         Jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan dengan pendaratan pesawat udara;
                        2.         Jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge);
                        3.         Jasa pelayanan penerbangan;
                        4.         Jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang datang, selama pesawat udara di darat;
                        5.         Jasa penunjang lain di bidang aeronautika.
            b.         Bidang non-aeronautika, termasuk:
                        1.         Jasa catering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat;
                        2.         Jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika.
(4)        Jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf t adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.
(5)        Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf v adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan.

Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           31 Desember 2008

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI






PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-1/PJ/2011 TANGGAL 10 JANUARI 2011
TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 21 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5138);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN.

Pasal 1
(1)        Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
            a.         mengalami kerugian fiskal;
            b.         berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal;
            c.         Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
            dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2)        Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3)        Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 2
(1)        Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat (1) dan ayat (2) diberikan Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas.
(2)        Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 3
Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan kepada:
a.         Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, dalam hal:
            1)         Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi;
            2)         Wajib Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial; atau
            3)         Wajib Pajak mengalami suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan (force majeur).
b.         Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, dengan memperhitungkan besarnya kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak.
c.         Wajib Pajak yang dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c.
d.         Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).

Pasal 4
(1)        Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan syarat telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir sebelum tahun diajukan permohonan kecuali untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a angka 1).
(2)        Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23 dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3)        Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b, dan huruf c.

Pasal 5
(1)        Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan dengan menerbitkan:
            a.         Surat Keterangan Bebas; atau
            b.         surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
            dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2)        Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(3)        Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlewati.

Pasal 6
Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 2 berlaku sampai dengan berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 7
Bentuk formulir Surat Keterangan Bebas untuk:
a.         pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21/Pasal 22/Pasal 23 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II,
b.         pemungutan PPh Pasal 22 impor adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 8
Dalam hal permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditolak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak dengan mempergunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 9
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-192/PJ/2002 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 10
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2011.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           10 Januari 2011

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO






PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-33/PJ/2009 TANGGAL 4 JUNI 2009
TENTANG
PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa royalti dari hasil karya sinematografi, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa royalti dari hasil Karya Sinematografi;

Mengingat         :
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI.

Pasal 1
(1)        Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi:
            a.         dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari;
            b.         dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya, dengan persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu atau wilayah tertentu;
            c.         dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan pengusaha bioskop; atau
            d.         dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya.
(2)        Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian yang dilakukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

Pasal 2
(1)        Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya Sinematografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf d, tidak termasuk dalam pengertian royalti.
(2)        Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari pemberian hak menggunakan hak cipta kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b dan huruf c, termasuk dalam pengertian royalti.

Pasal 3
Jumlah royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang menjadi dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah:
a.         sebesar seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b; dan
b.         sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c.

Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
Tanggal                        :           4 Juni 2009

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
DARMIN NASUTION




PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri;

Mengingat :
  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI.

Pasal 1

Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

Pasal 2

Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 4

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO








SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S-08/PJ.032/2008 TANGGAL 07 JANUARI 2008
TENTANG
PERMOHONAN PENEGASAN ATAS PERLAKUAN PENGENAAN PPh PASAL 23 ATAS JASA PERIKLANAN BERDASARKAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-70/PJ/2007



Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 11 Oktober 2007 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan bahwa:
            a.         Secara umum, anggota PPPI dalam melakukan kegiatannya bisa memberikan beberapa jasa, antara lain pembuatan materi iklan, pemasangan iklan di media dan pemberian konsultasi periklanan;
            b.         Dalam melaksanakan kegiatan pembuatan materi iklan bisa dilakukan sendiri oleh perusahaan periklanan dan bisa diserahkan ke pihak ketiga. Apabila materi iklan dibuat sendiri oleh perusahaan periklanan maka seluruh penghasilan dari klien merupakan penghasilan perusahaan periklanan, namun apabila pembuatan materi iklan diserahkan kepada pihak ketiga, maka perusahaan periklanan hanya melakukan supervisi. Sehingga tagihan perusahaan periklanan ke klien sebesar tagihan dari pihak ketiga ditambah dengan fee jasa supervisi;
            c.         Dalam melaksanakan kegiatan pemasangan iklan di media, penghasilan dari perusahaan periklanan adalah selisih tagihan perusahaan periklanan ke pihak klien dikurangi dengan tagihan dari perusahaan media;
            d.         Berdasarkan penjelasan di atas, Saudara mohon agar dapat diberikan penegasan lebih lanjut mengenai teknis pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan PER-70/PJ/2007.
2.         Ketentuan yang terkait:
            a.         Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, mengatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
                        1)         sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
                        2)         imbalan sehubungan dengan jasa toknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
            b.         Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ./2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, mengatur antara lain:
                        1)         Pasal 1 ayat (1), atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar;
                        2)         Pasal 1 ayat (2), imbalan jasa yang atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultansi dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21;
                        3)         Pasal 3, Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut;
                        4)         Pasal 4, Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut;
                        5)         Lampiran II Romawi III angka 25, Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 10% dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN.
3.         Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan memperhatikan isi surat Saudara dengan ini disampaikan sebagai berikut:
            a.         Teknis pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan PER-70/PJ/2007 adalah atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar, sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 1).
            b.         Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tersebut.
            c.         Dalam hal Saudara melakukan pembayaran atas sewa atau penggunaan harta sebagaimana dimaksud dialam butir 2 huruf b angka 3) atau pembayaran atas jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 4), maka atas pembayaran tersebut dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari peikiraan penghasilan neto.
Demikian untuk dimaklumi.

A.n. DIREKTUR JENDERAL
Pjs. DIREKTUR
            ttd
SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN






SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S-09/PJ.032/2008 TANGGAL 07 JANUARI 2008
TENTANG
PERMOHONAN PENEGASAN TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR PER-70/PJ/2007



Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 30 Mei 2007 perihal sebagaimana tersebut diatas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan:
            a.         Sehubungan dengan telah terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-70/PJ/2007, dalam pelaksanaannya telah terjadi multi tafsir sebagai berikut:
                        1)         Definisi “jasa perantara”
                                    Karena tidak ada definisi jasa perantara yang jelas, maka banyak jenis jasa yang ditafsirkan sebagai jasa perantara, antara lain : jasa freight forwarding, tour and travel agency, agen pelayaran dan agen advertensi.
                        2)         Dasar Pengenaan Pajak
                                    Lampiran II menyatakan bahwa dasar pengenaan pajak adalah prosentase dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN. Karena tidak ada contoh penghitungan, maka telah terjadi multi tafsir dalam penerapannya.
                        3)         Jasa Internet
                                    Lampiran II nomor 25 memasukkan “jasa penyediaan tempat dan/atau waktu di dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi”, sebagai jasa lain. Beberapa KPP menafsirkan “media lain untuk penyampai informasi” termasuk jasa internet, padahal jumlah yang harus dipotong kecil-kecil sehingga menimbulkan biaya administrasi yang tinggi.
            b.         Agar terdapat kepastian hukum dan pemungutan pajak yang sesuai dengan situasi dunia usaha, Saudara mengusulkan agar dapat diberikan penegasan sebagai berikut:
                        1)         Definisi “jasa perantara”
                                    Jasa Perantara adalah jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang bertindak sebagai perantara dalam perikatan perjanjian di bidang tertentu, dengan mendapat imbalan balas jasa atau pembagian keuntungan dan bertindak atas perintah atau atas nama orang-orang yang tidak ada ikatan kerja tetap dengan dirinya, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
                        2)         Dasar Pengenaan Pajak
                                    Yang dimaksud dengan “Jumlah Imbalan Jasa tidak termasuk PPN” adalah Jumlah Tagihan Bruto tidak termasuk PPN dari pemberi jasa dikurangi dengan pembayaran kepada pihak ketiga
                        3)         Jasa Internet
                                    Yang dimaksud dengan media lain untuk informasi tidak termasuk jasa internet.
2.         Ketentuan yang terkait:
            a.         Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dan perkiraan penghasilan neto atas:
                        1)         sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
                        2)         imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
            b.         Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ./2007 tanggal 9 April 2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, antara lain mengatur bahwa:
                        1)         Pasal 1 ayat (1), Atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar;
                        2)         Pasal 1 ayat (2), Imbalan jasa yang atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultasi dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21;
                        3)         Pasal 3, Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut;
                        4)         Pasal 4, Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut;
                        5)         Pasal 5 ayat 1, Perkiraan Penghasilan Neto adalah sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran I atau lampiran II kolom (3) dikalikan dengan nilai sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta atau nilai imbalan jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
                        6)         Lampiran II Romawi III angka 25, Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu di dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 10% dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN;
3.         Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dan memperhatikan isi Surat Saudara dengan ini kami sampaikan:
            a.         Terima kasih atas usulan yang telah Saudara sampaikan dan akan dipelajari dengan seksama.
            b.         Perlu kami sampaikan juga bahwa:
                        1)         Dasar Pengenaan Pajak dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Perkiraan Penghasilan Neto yaitu sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran I atau lampiran II kolom Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 dikalikan dengan nilai sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta atau nilai imbalan jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 5) di atas;
                        2)         Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007, jasa Internet, jasa Freight Forwarding, Tour Travel Agency, agen Pelayaran dan Agen Advertensi tidak tercantum sebagai jasa yang atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. Oleh karena itu atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) atau jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 4).
Demikian untuk dimaklumi.

A.n. DIREKTUR JENDERAL
Pjs. DIREKTUR
            ttd
SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN






SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-11/PJ/2011 TANGGAL 20 JANUARI 2011
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-1/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan adalah:
            a.         Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal, dalam hal:
                        1)         Wajib Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi;
                        2)         Wajib Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial; atau
                        3)         Wajib Pajak mengalami suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan (force majeur).
            b.         Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal.
            c.         Wajib Pajak yang dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
            d.         Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenakan pajak bersifat final.
2.         Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 tidak berlaku terhadap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
3.         Wajib Pajak yang baru berdiri sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a angka 1) adalah Wajib Pajak yang baru berdiri dalam tahun pajak berjalan.
4.         Besarnya kompensasi kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak.
5.         Dalam hal Wajib Pajak mendapat Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding maka besarnya kompensasi kerugian fiskal sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
6.         Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf c merupakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final yang telah dan akan dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
7.         Syarat-syarat pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan:
            a.         Permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan.
            b.         Satu permohonan diajukan untuk setiap jenis pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21, Pasal 22 Impor, Pasal 22 selain Impor, dan Pasal 23.
            c.         Setiap permohonan dilampiri dengan penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan, kecuali bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf d.
            d.         Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak terakhir sebelum tahun diajukan permohonan, kecuali bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a angka 1).
8.         Penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan terutang sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf c paling sedikit harus memuat:
            a.         peredaran usaha dan luar usaha tahun berjalan serta perkiraan peredaran usaha dan luar usaha dalam satu tahun pajak;
            b.         biaya fiskal tahun berjalan dan perkiraan biaya fiskal dalam satu tahun pajak, kecuali bagi Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto;
            c.         perkiraan Pajak Penghasilan yang akan terutang dalam satu tahun pajak;
            d.         Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut dan/atau dibayar sendiri dalam tahun berjalan; dan
            e.         perkiraan Pajak Penghasilan yang akan dipotong/dipungut dan/atau dibayar sendiri dalam tahun berjalan.
9.         Dalam hal SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf d belum disampaikan karena Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan maka Wajib Pajak yang bersangkutan dianggap telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf d.
10.        Kepala KPP harus memberikan keputusan atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dengan menerbitkan:
            a.         Surat Keterangan Bebas (SKB); atau
            b.         surat penolakan permohonan SKB,
            dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
11.        Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir 7 dan butir 8, Kepala KPP harus menerbitkan surat penolakan permohonan SKB.
12.        Wajib Pajak yang telah mendapat surat penolakan permohonan SKB sehubungan dengan tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir 7 dan butir 8, dapat mengajukan kembali permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.
13.        Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam butir 10 Kepala KPP belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
14.        Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana dimaksud dalam butir 13, Kepala KPP wajib menerbitkan SKB dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja setelah jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam butir 10 terlewati.
15.        Dalam hal Wajib Pajak yang telah mendapat SKB melakukan transaksi dengan lebih dari satu pemotong dan/atau pemungut pajak maka Wajib Pajak dapat menggunakan fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP yang menerbitkan SKB.
16.        Tata cara legalisasi atas fotokopi SKB dilakukan sebagai berikut:
            a.         Wajib Pajak mengajukan permohonan legalisasi SKB secara tertulis kepada Kepala KPP yang menerbitkan SKB dengan mencantumkan nama dan NPWP pemotong dan/atau pemungut pajak.
            b.         Kepala KPP harus melakukan legalisasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja sejak permohonan legalisasi diterima.
 17.       SKB berlaku sejak tanggal diterbitkan sampai dengan tanggal terakhir tahun pajak yang bersangkutan.
18.        Apabila berdasarkan penelitian terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan SKB dapat dibuktikan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang lebih besar dari pada Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar dalam tahun berjalan maka Kepala KPP dapat melakukan penyesuaian terhadap besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
19.        Prosedur penyelesaian permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
20.        Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak diminta untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan atas pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain oleh KPP yang berada di wilayah kerjanya.
Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           20 Januari 2011

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO

                                                                        LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-11/PJ/2011 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-1/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN

PROSEDUR PENYELESAIAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN
DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN

1.         Wajib Pajak mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan beserta kelengkapannya kepada KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan.
2.         Petugas TPT menerima permohonan SKB Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan dan mencetak BPS dan LPAD. BPS diserahkan kepada Wajib Pajak sedangkan LPAD digabungkan dengan surat permohonan beserta kelengkapannya. Petuqas TPT kemudian merekam surat permohonan dan dilanjutkan dengan meneruskan surat permohonan beserta kelengkapannya ke Account Representative.
3.         Account Representative membuat dan menandatangani Uraian Penelitian Permohonan serta membuat konsep SKB atau surat penolakan permohonan SKB, kemudian meneruskan kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi.
4.         Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi meneliti, menandatangani Uraian Penelitian Permohonan, dan memberikan persetujuan (approve) atas penerbitan SKB atau surat penolakan permohonan SKB, kemudian meneruskan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
5.         Kepala Kantor Pelayanan Pajak menelaah, menandatangani Uraian Penelitian Permohonan, dan memberikan persetujuan (approve) atas penerbitan SKB atau surat penolakan permohonan SKB.
6.         Kepala Seksi Pelayanan menerima uraian penelitian permohonan dan menugaskan Pelaksana Seksi Pelayanan untuk mencetak SKB atau surat penolakan permohonan SKB.
7.         Pelaksana Seksi Pelayanan melakukan pencetakan konsep SKB atau surat penolakan permohonan SKB, kemudian menyampaikannya kepada Kepala Seksi Pelayanan.
8.         Kepala Seksi Pelayanan meneliti dan memaraf SKB atau surat penolakan permohonan SKB, kemu dian menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
9.         Kepala Kantor Pelayanan Pajak menyetujui dan menandatangani SKB atau surat penolakan permohonan SKB.
10.        SKB atau Surat Penolakan Permohonan SKB ditatausahakan di Seksi Pelayanan (SOP Tata Cara Penatausahaan Dokumen Wajib Pajak) dan disampaikan kepada pihak-pihak terkait melalui Subbagian Umum (SOP Tata Cara Penyampaian Dokumen di KPP).
11.        Jangka waktu penyelesaian paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.

                                                                                                            DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
                                                                                                                        ttd
                                                                                                            MOCHAMAD TJIPTARDJO
                                                                                                            NIP 1951042819751212002






SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-35/PJ/2010 TANGGAL 9 MARET 2010
TENTANG
PENGERTIAN SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA, JASA TEKNIK, JASA MANAJEMEN, DAN JASA KONSULTAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 23 Undang-Undang tersebut antara lain mengatur bahwa penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan, dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak yang wajib membayarkan. Dalam rangka untuk memberikan kesamaan pemahaman atas pengertian sewa dan penggunaan harta serta jasa-jasa tersebut, perlu diberikan penegasan sebagai berikut:
1.         Pasal 23 ayat (1) huruf c UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan, sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
a.         sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b.         imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
2.         Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.
3.         Jasa teknik sebagaimana dimaksud butir 1 huruf b merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi:
a.         pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
b.         pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
c.         pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.
4.         Jasa manajemen sebagaimana dimaksud butir 1 huruf b merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
5.         Jasa konsultan sebagaimana dimaksud butir 1 huruf b merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           9 Maret 2010

DIREKTUR JENDERAL
            ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO






SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-53/PJ/2009 TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
JUMLAH BRUTO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 mengatur bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
2.         Yang dimaksud dengan jumlah bruto sebagaimana dimaksud pada butir 1 adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
            a.         pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
            b.         pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material;
            c.         pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga;
            d.         pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
3.         Jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam butir 2 tidak berlaku:
            a.         atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau
            b.         dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 1, telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
4.         Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam butir 2 harus dapat dibuktikan dengan:
            a.         kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a;
            b.         faktur pembelian barang atau material sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b;
            c.         faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c;
            d.         faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf d.
5.         Untuk memberikan kejelasan, contoh penerapan jumlah bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah sebagaimana terdapat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           25 Mei 2009

DIREKTUR JENDERAL,
            ttd
DARMIN NASUTION

                                                                                    LAMPIRAN:
                                                                                    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-53/PJ/2009 TENTANG JUMLAH BRUTO ATAS IMBALAN JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008

1.         PT Sumber Tenaga merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja. PT Sumber Tenaga mendapat kontrak dari PT Maju Terus untuk menyediakan tenaga kerja pemasaran sebanyak 20 orang dengan mendapat imbalan jasa sebesar Rp20.000.000,- Tenaga kerja tersebut selanjutnya menjadi pegawai PT Maju Terus.
            Atas pembayaran yang dilakukan PT Maju Terus kepada PT Sumber Tenaga dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Maju Terus sebesar:
            2% x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
2.         PT Aman Jaya merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja untuk keamanan (satpam). PT Aman Jaya mendapat kontrak penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Dwi Makmur. Tenaga kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Jaya. Dalam Kontrak disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh PT Aman Jaya terdiri dari gaji untuk 20 orang satpam per bulan sebesar Rp20.000.000,00 dan imbalan atas jasa penyediaan satpam per bulan sebesar Rp2.000.000,-.
            a.         Rincian tagihan PT Aman Jaya kepada PT Dwi Makmur:
                        Pembayaran gaji 20 orang satpam ...................             Rp20.000.000,-
                        Imbalan Jasa ..................................................              Rp  2.000.000,-
            b.         Atas pembayaran yang dilakukan PT Dwi Makmur kepada PT Aman jaya dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Dwi Makmur sebesar:
                        2% x Rp2.000.000,- = Rp40.000,-
            c.         Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp22.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Dwi Makmur atas pembayaran kepada PT Aman Jaya adalah sebesar:
                        2% x Rp22.000.000,- = Rp440.000,-
3.         PT Megah (pihak pertama) melakukan kontrak dengan PT Satu Sarana selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua) untuk membuat iklan sekaligus memasang iklan pada perusahaan media (pihak ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp103.000.000,-.
            a.         Rincian tagihan PT Satu Sarana kepada PT Megah adalah:
                        1)         pembelian material untuk pembuatan iklan .........................        Rp15.000.000,-
                        2)         jasa konsultan (terkait pembuatan dan pemasangan iklan)....       Rp 5.000.000,-
                        3)         Fee agen ...........................................................................      Rp 3.000.000,-
                        4)         biaya pemasangan iklan ke perusahaan media……………………. Rp80.000.000,-
            b.         Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Satu Sarana atas pembayaran jasa pemasangan iklan kepada perusahaan media adalah sebesar:
                        2% x Rp80.000.000,- = Rp1.600.000,-
            c.         Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Megah atas pembayaran jasa konsultasi dan jasa keagenan kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
                        1)         2% x Rp5.000.000,- = Rp100.000,- untuk jasa konsultasi; dan
                        2)         2% x Rp3.000.000,- = Rp 60.000,- untuk jasa keagenan
            d.         Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp103.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Megah atas pembayaran kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
                        2% x Rp103.000.000,- = Rp2.060.000,-
4.         PT Terang mengikat kontrak dengan PT Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT Garmindo akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp25.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Garmindo mengeluarkan biaya sebesar Rp5.000.000,- untuk bahan tambahan.
            a.         Rincian tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
                        Biaya untuk bahan tambahan ......................................              Rp 5.000.000,-
                        Imbalan Jasa maklon..................................................               Rp25.000.000,-
            b.         Atas pembayaran yang dilakukan PT Terang kepada PT Garmindo dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Terang sebesar:
                        2% x Rp25.000.000,- = Rp500.000,-
            c.         Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp30.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Terang atas pembayaran kepada PT Garmindo adalah sebesar:
                        2% x Rp30.000.000,- = Rp600.000,-
5.         Untuk acara pembukaan cabang baru, PT Abadi meminta CV Sedap yang bergerak di bidang pengadaan catering untuk menyediakan makanan yang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama, dan makanan penutup untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang disepakati untuk pengadaan catering tersebut adalah Rp20.000.000,-. Atas pembayaran yang dilakukan PT Abadi kepada CV Sedap dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Abadi sebesar:
            2% x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-

                                                                                                                        DIREKTUR JENDERAL,
                                                                                                                                    ttd
                                                                                                                        DARMIN NASUTION
                                                                                                                        NIP 130605098






SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-58/PJ/2009 TANGGAL 04 JUNI 2009
TENTANG
PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-33/PJ/2009 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dari Hasil Karya Sinematografi, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Dalam peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta dijelaskan antara lain:
a.         Hak cipta adalah merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.         Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain;
c.         Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer;
d.         Hak cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan;
e.         Pemegang hak cipta atas Karya Sinematografi memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial;
f.          Karya Sinematografi yang merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi : film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan;
g.         Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut;
h.         Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu;
i.          Pengertian "mengumumkan atau memperbanyak", termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.
2.         Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi, yaitu:
a.         dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari;
b.         dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya, dengan persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu atau wilayah tertentu;
c.         dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan pengusaha bioskop; atau
d.         dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya.
3.         Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya Sinematografi sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a dan huruf d, tidak termasuk dalam pengertian royalti.
4.         Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari pemberian hak menggunakan hak cipta kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b dan huruf c, termasuk dalam pengertian royalti.
5.         Jumlah royalti sebagaimana dimaksud dalam butir 4 yang menjadi dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah:
a.         sebesar seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b; dan
b.         sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c.
6.         Besarnya PPh atas royalti sebagaimana dimaksud dalam butir 5 adalah:
a.         sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan, atau
b.         sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang terkait.
7.         Surat Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan dan Direktur Jenderal Radio-Televisi-Film Departemen Penerangan Nomor
                  KEP-266/PJ.2/1978
            ______________________
            11/KEP/DIRJEN/RTF/1978
            tanggal 23 Maret 1978 tentang Tata-Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Atas Bunga, Dividen dan Royalty (PBDR) Atas Royalty Penggunaan Hak Edar Film lmpor, karena bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan maka surat keputusan tersebut sudah tidak berlaku sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tersebut.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           04 Juni 2009

DIREKTUR JENDERAL
            ttd
DARMIN NASUTION










Tidak ada komentar:

Posting Komentar