Minggu, 23 Desember 2012

PPh Pasal 21


 PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 16/PMK.03/2010 TANGGAL 25 JANUARI 2010
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         PERATURAN PEMERINTAH nomor 68 TAHUN 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5082);
4.         Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2.         Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3.         Pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4.         Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
5.         Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6.         Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7.         Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
8.         Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9.         Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.

Pasal 2
(1)        Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2)        Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
(3)        Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
            a.         Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% (dua puluh persen) dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus pada saat Pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal dunia;
            b.         Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus;
            c.         pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup.
(4)        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terutang pada saat dilakukan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus.

Pasal 3
(1)        Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
            a.         sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
            b.         sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
            c.         sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
            d.         sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)        Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Pasal 4
(1)        Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
            a.         sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
            b.         sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)        Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Pasal 5
(1)        Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2)        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3)        Dalam hal Pegawai tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pegawai yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 6
 (1)       Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
(2)        Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3)        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipotong oleh pemberi kerja.
(4)        Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.

Pasal 7
(1)        Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(2)        Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3)        Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai, dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.

Pasal 8
(1)        Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.
(2)        Atas pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3)        Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
(4)        Pada saat perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Manfaat Pensiun kepada Pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.

Pasal 9
(1)        Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua untuk setiap Masa Pajak.
(2)        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3)        Pemotong Pajak wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(4)        Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan batas akhir pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(5)        Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(6)        Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif pemotongan sebesar 0% (nol persen).
(7)        Apabila dalam 1 (satu) Masa Pajak, kepada satu Pegawai dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) Masa Pajak.

Pasal 10
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun atau Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1.         Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun atau Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan pembayarannya dilakukan sejak tanggal 16 November 2009, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
2.         Tata Cara pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana tersebut pada angka 1, berlaku Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
3.         Saat diperolehnya penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah pada saat Pegawai berhenti bekerja.

Pasal 11
Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dengan menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 12
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           25 Januari 2010

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010

MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 33


                                                                                                                                           LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR   /PMK.03/   TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN
JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

1.         Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan sekaligus
Pirman Nurjaman bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Asgar Manah sejak tahun 1980. PT Asgar Manah telah mengikutkan program pensiun untuk seluruh pegawainya dengan membentuk Dana Pensiun PT Asgar Manah. Pada bulan Januari 2010, Pirman Nurjaman terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menerima pembayaran Uang Pesangon sebesar Rp600.000.000,00 dari PT Asgar Manah.
Selain itu, Pirman Nurjaman berhak atas manfaat pensiun sebesar Rp 300.000.000,00 dari Dana Pensiun PT Asgar Manah. Pirman Nurjaman meminta pembayaran sekaligus atas manfaat pensiun sebesar 20% dari manfaat pensiun dan sisanya (80% dari manfaat pensiun) dibayarkan secara bulanan. Dana Pensiun PT Asgar Manah membayarkan Uang Manfat Pensiun yang dibayarkan sekaligus sebesar 20% x Rp300.000.000,00 = Rp 60.000.000,00.
            Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon:
                        0% x Rp50.000.000,00               =          Rp                0,00
                        5% x Rp50.000.000,00               =          Rp   2.500.000,00
                        15% x Rp400.000.000,00           =          Rp 60.000.000,00
                        25% x Rp100.000.000,00           =          Rp 25.000.000,00
                                                                                    ---------------------- (+)
                        Jumlah                                                  Rp 87.500.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas 20% dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus:
                        0% x Rp50.000.000,00               =          Rp             0,00
                        5% x Rp10.000.000,00               =          Rp   500.000,00
                                                                                    ---------------------- (+)
                        Jumlah                                                  Rp   500.000,00
Sedangkan penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pembayaran 80% dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara bulanan berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
2.         Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Bertahap
Apabila PT Asgar Manah melakukan pembayaran Uang Pesangon kepada Pirman Nurjaman secara bertahap dengan jadwal pembayaran sebagai berikut:
            a.         Bulan Januari 2010                                Rp240.000.000,00
            b.         Bulan Januari 2011                                Rp120.000.000,00
            c.         Bulan Juli 2011                                      Rp120.000.000,00
            d.         Bulan Januari 2012                                Rp120.000.000,00
            maka Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang:
            a.         Bulan Januari 2010:
                        0% x Rp50.000.000,00               =          Rp               0,00
                        5% x Rp50.000.000,00               =          Rp  2.500.000,00
                        15% x Rp140.000.000,00           =          Rp21.000.000,00
                                                                                    ---------------------- (+)
                                                                                    Rp23.500.000,00
            b.         Bulan Januari 2011:
                        15% x Rp120.000.000,00           =          Rp18.000.000,00
            c.         Bulan Juli 2011:
                        15% x Rp120.000.000,00           =          Rp18.000.000,00
            d.         Bulan Januari 2012:
Oleh karena pembayaran Uang Pesangon sudah memasuki tahun ketiga maka tarif PPh Pasal 21 untuk Uang Pesangon yang dibayarkan pada bulan Januari 2012 adalah Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pemotongan PPh 21 pada bulan Januari 2012 tidak bersifat Final.
                        Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bulan Januari 2012:
                        5% x Rp50.000.000,00               =          Rp2.500.000,00
                        15% x Rp70.000.000,00             =          Rp10.500.000,00
                                                                                    ---------------------- (+)
                        Jumlah                                                  Rp13.000.000,00
_____________________________________________________________________________________

Salinan sesuai dengan aslinya,                                                   MENTERI KEUANGAN,
Kepala Biro Umum                                                                                ttd
            u.b.                                                                              SRI MULYANI INDRAWATI
Kepala Bagian T.U. Departemen
            ttd
Antonius Suharto
NIP 060041107




PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR 39/PJ/2008 TANGGAL 6 OKTOBER 2008
TENTANG
SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN 2008 BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA




DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang       :
Bahwa dalam rangka memberi kepastian hukum serta meningkatkan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2008 Beserta Petunjuk Pengisiannya;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2.         Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2006;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN 2008 BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA.

Pasal 1
Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar.

Pasal 2
Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 beserta Petunjuk Pengisiannya untuk Tahun 2008 adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 3
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-81/PJ./2007 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2007 beserta Petunjuk Pengisiannya, tetap berlaku sepanjang digunakan untuk pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun 2007.

Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           6 Oktober 2008

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
            ttd
DARMIN NASUTION






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 43/PMK.03/2009 TANGGAL 3 MARET 2009
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU




MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 beserta Penjelasannya diatur bahwa dalam keadaan darurat, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang dituangkan dalam Kesimpulan Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah berupa penetapan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2009;
b.         bahwa dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja, Pemerintah telah mengusulkan kepada DPR-RI upaya mengatasi dampak krisis global melalui program stimulus fiskal;
c.         bahwa berdasarkan Kesimpulan Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah pada tanggal 23 dan 24 Februari 2009 dengan mendasarkan pada ketentuan sebagaimana tersebut pada huruf a, DPR-RI telah menyetujui penetapan pagu anggaran dalam rangka pemberian stimulus fiskal berupa Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah sesuai usulan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d.         bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.         Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4920);
3.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU.

Pasal 1
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah ditetapkan paling banyak sebesar pagu anggaran Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 dan perubahannya.

Pasal 2
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam satu bulan.

Pasal 3
Kategori usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a.         kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
b.         kategori usaha perikanan; dan
c.         kategori usaha industri pengolahan,
yang rinciannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 4
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebesar Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja.

Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah atas penghasilan pekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           3 Maret 2009

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 49/PMK.03/2009 TANGGAL 18 MARET 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 43/PMK.03/2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU




MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak khususnya pekerja untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah hanya diberikan kepada pekerja yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.         Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4920);
3.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;

MEMUTUSKAN:
 Menetapkan     :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 43/PMK.03/2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU.

Pasal I
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
(1)        Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah diberikan kepada pekerja yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Masa Pajak Juni 2009, sedangkan mulai Masa Pajak Juli 2009 hanya diberikan kepada pekerja yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2)        Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang diterima pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak terutang berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak sebesar 20% lebih tinggi bagi pekerja yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3)        Dalam hal setelah Masa Pajak Juni 2009 pekerja belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah hanya diberikan sejak Masa Pajak setelah pekerja yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           18 Maret 2009

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI






PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 68 TAHUN 2009 TANGGAL 16 NOPEMBER 2009
TENTANG
TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang       :
a.         bahwa dengan dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus;

Mengingat         :
1.         Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.         Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1903 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2.         Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3.         Pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4.         Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
5.         Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6.         Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7.         Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
8.         Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9.         Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.

Pasal 2
(1)        Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2)        Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Pasal 3
(1)        Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
(2)        Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
(3)        Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(4)        Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.

Pasal 4
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
a.         sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b.         sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c.         sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d.         sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 5
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a.         sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b.         sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 6
(1)        Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2)        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3)        Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7
(1)        Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(2)        Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(3)        Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).

Pasal 8
(1)        Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang Pesangon.
(2)        Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pengalihan Uang Pesangon tersebut.
(3)        Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai.

Pasal 9
Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.

Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 11
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pembayarannya dilakukan setelah Peraturan Pemerintah ini berlaku, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.

Pasal 12
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4067), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Rupublik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           16 November 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
            ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 169


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009
TENTANG
TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

I.          UMUM
            Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
            Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
            Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final, penetapan besaran tarif pajak, dan pemotongan terhadap penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.
            Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Dengan penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka manfaat yang djperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum.
II.          PASAL DEMI PASAL
            Pasal 1
                        Cukup jelas.
            Pasal 2
                        Ayat (1)
                                    Cukup jelas.
                        Ayat (2)
                                    Karena alasan keuangan, pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam beberapa kali pembayaran. Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.
            Pasal 3
                        Ayat (1)
                                    Pada dasarnya kewajiban pembayaran Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada pegawainya pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya, kewajiban pembayaran Uang Pesangon tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau secara bertahap atau berkala.
                        Ayat (2)
                                    Apabila pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.
                        Ayat (3)
                                    Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja tidak mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.
                        Ayat (4)
                                    Cukup jelas.
            Pasal 4
                        Dengan memperhatikan bahwa besarnya Uang Pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan keadilan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
                        Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp175.000.000,00.
                        Penghasilan bruto                                                                     Rp 175.000.000,00
                        Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
                        0% x Rp50.000.000,00               =          Rp             0,00
                        5% x Rp50.000.000,00               =          Rp 2.500.000,00
                        15% x Rp75.000.000,00             =          Rp11.250.000,00 (+)
                                                                                    --------------------------
                                                                                    Rp13.750.000,00
                        Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya:
                        a.         Bulan Desember 2009                Rp  50.000.000,00
                        b.         Bulan April 2010                        Rp 125.000.000,00 (+)
                                                                                    -----------------------------
                                    Jumlah                                      Rp 175.000.000,00
                        Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000,00
                        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong:
                        Bulan Desember 2009:
                        Jumlah penghasilan bruto                                                          Rp  50.000.000,00
                        Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
                        0% x Rp50.000.000,00                           =          Rp0,00
                        Bulan April 2010:
                        Jumlah penghasilan bruto                                                          Rp125.000.000,00
                        Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
                        5% x Rp50.000.000,00                           =          Rp 2.500,000,00
                        15% x Rp75.000.000,00                         =          Rp11.250.000,00 (+)
                                                                                                --------------------------
                        Jumlah                                                              Rp 13.750.000,00
                        Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp0,00 + Rp 13.750.000,00 = Rp13.750.000,00.
            Pasal 5
                        Berdasarkan pertimbangan bahwa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus merupakan nilai tunai atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala untuk jangka waktu yang cukup lama, maka penghasilan yang diterima sekaligus tersebut pada dasarnya penghasilan yang seharusnya diterima untuk beberapa tahun pajak. Dengan memperhatikan besarnya Uang Manfaat Pensiun yang berlaku saat ini pada umumnya, maka penghasilan sekaligus tersebut jika dialokasikan dalam beberapa tahun masih berlaku tarif terendah yaitu sebesar 5% (lima persen). Ketentuan ini diberikan untuk memberikan keadilan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum bagi penerima pensiun yang sudah masuk dalam usia tidak produktif.
                        Untuk memberikan perlakuan yang sama dengan Uang Pesangon, maka atas jumlah sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 0% (nol person).
                        Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp150.000.000,00 adalah:
                        Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp150.000.000,00
                        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang:
                        0% x Rp 50.000.000,00              =          Rp            0,00
                        5% x Rp 100.000.000,00            =          Rp5.000.000,00
                                                                        =          --------------------
                        Jumlah                                      =          Rp5.000.000,00
                        Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya:
                        Bulan Desember 2009 sebesar               Rp 50.000.000,00
                        Bulan Februari 2010 sebesar                  Rp 100.000.000,00
                                                                                    ---------------------
                        Jumlah                                                  Rp 150.000.000,00
                        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:
                        Bulan Desember 2009:
                        0% x Rp50.000.000,00               =          Rp            0,00
                        Bulan Februari 2010:
                        5% x Rp100.000.000,00             =          Rp5.000.000,00
                                                                                    --------------------
                        Jumlah                                      =          Rp5.000.000,00
            Pasal 6
                        Ayat (1)
                                    Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00.
                        Ayat (2)
                                    Cukup jelas.
                        Ayat (3)
                                    Penerima penghasilan sebagaimana contoh penjelasan ayat (1) yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00.
            Pasal 7
                        Ayat (1)
                                    Cukup jelas.
                        Ayat (2)
                                    Cukup jelas.
                        Ayat (3)
                                    Bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dibuat meskipun jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang nihil, karena dikenai tarif 0% (nol persen).
            Pasal 8
                        Cukup jelas.
            Pasal 9
                        Cukup jelas.
            Pasal 10
                        Cukup jelas
            Pasal 11
                        Cukup jelas.
            Pasal 12
                        Cukup jelas.
            Pasal 13
                        Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5082






PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 80 TAHUN 2010 TANGGAL 20 DESEMBER 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang       :
a.         bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu mengatur kembali tarif pemotongan dan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

Mengingat         :
1.         Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2.         Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3.         Pejabat Negara adalah Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
4.         Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
5.         Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota TNI adalah anggota TNI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
6.         Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut anggota POLRI adalah anggota POLRI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
7.         Pensiunan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan yang dilakukan di masa lalu sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI, termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya.
8.         Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
9.         Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 2
(1)        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
(2)        Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
            a.         Pejabat Negara, untuk:
                        1)         gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
                        2)         imbalan tetap sejenisnya
                        yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.         PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c.         Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(3)        Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Pasal 3
(1)        Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan pada APBN atau APBD dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2)        Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya.
(3)        Pemotongan atas tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dibayarkan.

Pasal 4
(1)        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut.
(2)        Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dengan tarif:
 a.        sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b.         sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c.         sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.

Pasal 5
Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tidak ditanggung oleh Pemerintah.

Pasal 6
(1)        Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final di luar penghasilan tetap dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
(2)        Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 7
Ketentuan mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 8
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3577), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           20 Desember 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
            ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Desember 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 140


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

I.          UMUM
            Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai tarif pemotongan dan pengenaan pajak penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Terhadap penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan dalam APBN atau APBD yang besarnya ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang ditanggung oleh pemerintah.
Sedangkan atas penghasilan selain gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau imbalan tetap sejenisnya berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
Pengenaan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final kepada golongan kepangkatan tertentu bagi PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan Pensiunannya merupakan insentif.
Pengenaan pajak yang bersifat final dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan administrasi bagi fiskus, bendahara pemerintah sebagai pemotong pajak dan Wajib Pajak orang pribadi yang dipotong pajak.
Dalam rangka melaksanakan kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak maka bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang tidak memiliki NPWP, atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau imbalan tetap sejenisnya dikenai pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi yang dipotong dari penghasilan yang diterima setiap bulan.
II.          PASAL DEMI PASAL
            Pasal 1
                        Cukup jelas.
            Pasal 2
                        Ayat (1)
                                    Penghasilan yang diberikan dalam mata uang asing yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk dalam pengertian penghasilan tetap dan teratur setiap bulan.
                                    Apabila PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya merangkap juga sebagai Pejabat Negara, maka penghasilan yang diterima baik berupa gaji atau uang pensiun dan tunjangan lain sebagai PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, maupun penghasilan berupa gaji kehormatan dan tunjangan lainnya atau imbalan tetap sejenisnya selaku Pejabat Negara, pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang juga ditanggung oleh pemerintah selaku pemberi kerja.
                        Ayat (2)
                                    Huruf a
                                                Termasuk dalam pengertian ‘gaji dan tunjangan lain’ adalah gaji dan tunjangan ke-13.
                                    Huruf b
                                                Lihat penjelasan huruf a.
                                    Huruf c
                                                Termasuk dalam pengertian ‘uang pensiun dan tunjangan lain’ adalah uang pensiun dan tunjangan ke-13.
                        Ayat (3)
                                    Cukup jelas.
            Pasal 3
                        Ayat (1)
                                    Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya antara lain dengan menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
                        Ayat (2)
                                    Cukup jelas.
                        Ayat (3)
                                    Cukup jelas.
            Pasal 4
                        Ayat (1)
                                    Yang dimaksud dengan ‘bendahara pemerintah’ adalah bendahara pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
                        Ayat (2)
                                    Cukup jelas
            Pasal 5
                        Cukup jelas.
            Pasal 6
                        Penghasilan Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang menerima penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final (misalnya penghasilan berupa laba usaha, royalti, atau keuntungan penjualan aktiva) digabung dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam perhitungan Pajak Penghasilan yang terutang yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
            Pasal 7
                        Cukup jelas.
            Pasal 8
                        Cukup jelas.
            Pasal 9
                        Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5174






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 139/PMK.03/2010 TANGGAL 11 AGUSTUS 2010
TENTANG
PENENTUAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3d) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 diatur bahwa besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3e) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penentuan Kembali Besarnya Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dari Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan Lain yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Keputusan Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENENTUAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2.         Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atau hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra yang berlaku.

Pasal 2
(1)        Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan di luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya kepada perusahaan di luar negeri tersebut.
(2)        Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai dari perusahaan di luar negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja.
(3)        Biaya atau pengeluaran lainnya yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan luar negeri yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa biaya atau pengeluaran sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.

Pasal 3
(1)        Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan kembali dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
(2)        Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjumlahan dari penghasilan Wajib Pajak yang diterima di Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar negeri.
(3)        Besarnya selisih penghasilan setelah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan di luar negeri yang terdapat Hubungan Istimewa.
(4)        Atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang sudah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(5)        Dalam rangka menentukan kembali besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pedoman standar gaji karyawan asing.

Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           11 Agustus 2010

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Agustus 2010

MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 385






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 209/PMK.07/2010 TANGGAL 29 NOPEMBER 2010
TENTANG
ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2010;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4893);
2.         Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
3.         Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5075) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5132);
4.         Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
5.         Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
6.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2010.

Pasal 1
(1)        Penerimaan Negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21 dibagihasilkan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen).
(2)        Bagian daerah dari Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
            a.         8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
            b.         12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
(3)        Bagian daerah kabupaten/kota dana bagi hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a.         8,4% (delapan empat persepuluh persen) untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar;
b.         3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.

Pasal 2
Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 untuk masing-masing daerah didasarkan atas prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010.

Pasal 3
(1)        Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 adalah sebesar Rp10.928.026.055.002,00 (sepuluh triliun sembilan ratus dua puluh delapan miliar dua puluh enam juta lima puluh lima ribu dua rupiah) dengan rincian sebagai berikut:
a.         Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN sebesar Rp618.152.094.787,00 (enam ratus delapan belas miliar seratus lima puluh dua juta sembilan puluh empat ribu tujuh ratus delapan puluh tujuh rupiah); dan
b.         Dana Bagi Hasil PPh Pasal 21 sebesar Rp10.309.873.960.215,00 (sepuluh triliun tiga ratus sembilan miliar delapan ratus tujuh puluh tiga juta sembilan ratus enam puluh ribu dua ratus lima belas rupiah).
(2)        Rincian Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 untuk masing-masing daerah Tahun Anggaran 2010 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 4
Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan dasar penyaluran Triwulan IV.

Pasal 5
Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran transfer ke daerah.

Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.07/2010, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           29 November 2010

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 November 2010

MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 576






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 229/PMK.07/2010 TANGGAL 20 DESEMBER 2010
TENTANG
ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2011

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2011;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2.         Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
3.         Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167);
4.         Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
5.         Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
6.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2011.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1.         Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
2.         Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, yang selanjutnya disebut PPh WPOPDN, adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku.
3.         Pajak Penghasilan Pasal 21, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku.

Pasal 2
(1)        Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen).
(2)        DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
            a.         8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
            b.         12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
(3)        DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibagi dengan rincian sebagai berikut:
            a.         8,4% (delapan empat persepuluh persen) untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar; dan
            b.         3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.

Pasal 3
(1)        Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2011 merupakan perkiraan.
(2)        Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2011 didasarkan atas rencana penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011.
(3)        Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah Tahun Anggaran 2011 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 4
  Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp13.131.019.999.471,00 (tiga belas triliun seratus tiga puluh satu miliar sembilan belas juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu empat ratus tujuh puluh satu rupiah) dengan rincian sebagai berikut:
a.         DBH PPh WPOPDN sebesar Rp715.119.999.732,00 (tujuh ratus lima belas miliar seratus sembilan belas juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh dua rupiah);
b.         DBH PPh Pasal 21 sebesar Rp12.415.899.999.739,00 (dua belas triliun empat ratus lima belas miliar delapan ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh sembilan rupiah).

Pasal 5
(1)        Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 digunakan sebagai dasar penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011.
(2)        Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 6
Alokasi definitif DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           20 Desember 2010

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Desember 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 633






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 250/PMK.03/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
BESARNYA BIAYA JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN




MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BESARNYA BIAYA JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN.

Pasal 1
(1)        Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.
(2)        Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.

Pasal 2
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/1998 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           31 Desember 2008

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 252/PMK.03/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI




MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2.         Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3.         Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4.         Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
5.         Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
6.         Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.
7.         Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.
8.         Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari Pemotong PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.
9.         Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
10.        Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.
11.        Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
12.        Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
13.        Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
14.        Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
15.        Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
16.        Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.
17.        Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
18.        Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
19.        Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
20.        Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
21.        Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya.
22.        Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan sejenis lainnya.
23.        Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja.

BAB II
PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 2
(1)        Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a.         pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b.         bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c.         dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d.         orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
1.         honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
2.         honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3.         honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
e.         penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
(2)        Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:
            a.         kantor perwakilan negara asing;
            b.         organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
c.         pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3)        Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak.

BAB III
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN ATAU PPh PASAL 26

Pasal 3
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan:
a.         pegawai;
b.         penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
c.         bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
1.         tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2.         pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
            3.         olahragawan;
            4.         penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
            5.         pengarang, peneliti, dan penerjemah;
            6.         pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
            7.         agen iklan;
            8.         pengawas atau pengelola proyek;
            9.         pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
            10.        petugas penjaja barang dagangan;
            11.        petugas dinas luar asuransi;
            12.        distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
d.         peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:
1.         peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
            2.         peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
            3.         peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
            4.         peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
            5.         peserta kegiatan lainnya.

Pasal 4
Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:
a.         pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b.         pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

BAB IV
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 5
(1)        Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a.         penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b.         penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c.         penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
d.         penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e.         imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
f.          imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
(2)        Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
            a.         bukan Wajib Pajak;
            b.         Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
            c.         Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

Pasal 6
(1)        Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
(2)        Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.

Pasal 7
(1)        Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan.
(2)        Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.

Pasal 8
(1)        Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a.         pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b.         penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
c.         iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
d.         zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
e.         beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2)        Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

BAB V
DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 9
(1)        Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
            a.         Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
                        1.         pegawai tetap;
                        2.         penerima pensiun berkala;
                        3.         pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri;
                        4.         bukan pegawai, yang meliputi:
                                    a)         distributor multi level marketing atau direct selling;
                                    b)         petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus sebagai pegawai;
                                    c)         penjaja barang dagangan yang tidak berstatus sebagai pegawai; dan/atau
d)         penerima penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari Pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender.
b.         Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
c.         Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
(2)        PTKP sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah PTKP dibagi 12 (dua belas).
(3)        Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.

BAB VI
PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN

Pasal 10
(1)        Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
(2)        Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut:
a.         bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan netto dikurangi PTKP;
b.         bagi pegawai tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 3, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP;
c.         bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP yang dihitung secara bulanan.
(3)        Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
a.         biaya jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b.         iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(4)        Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(5)        Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
            a.         bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
            b.         bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(6)        Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(7)        Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
(8)        Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.

Pasal 11
(1)        Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.         tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b.         dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
(2)        Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
(3)        Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender yang melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri, maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
(4)        PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
(5)        PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
(6)        Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pasal 12
(1)        Penerima penghasilan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong Pajak serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
(2)        Untuk dapat memperoleh pengurangan PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerima penghasilan bukan pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.

BAB VII
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA

Pasal 13
(1)        Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari:
            a.         pegawai tetap;
            b.         penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan;
            c.         pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan.
(2)        Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.         perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b.         dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.
(3)        Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a.         atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (clua belas);
b.         atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.
(4)        Dalam hal pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak subjektif terhitung sejak awal tahun kelender dan mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
(5)        Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
(6)        Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak, perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.
(7)        Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak, maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.

Pasal 14
(1)        Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a.         jumlah penghasilan bruto di atas bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b.         jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
(2)        Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
(3)        Besarnya batasan jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disesuaikan sepanjang terdapat perubahan besarnya PTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 15
(1)        Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a.         jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran yang didasarkan pada penyelesaian suatu pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya tidak bersifat berkesinambungan, yang diterima oleh bukan pegawai;
b.         jumlah bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan; atau
c.         jumlah kumulatif penghasilan bruto sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya bersifat berkesinambungan, baik berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis atau berdasarkan keadaan yang sebenarnya, yang diterima oleh bukan pegawai.
(2)        Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif Penghasilan Kena Pajak sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima atau diperoleh bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, yang dihitung setiap bulan.

Pasal 16
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas penghasilan bruto kumulatif berupa:
a.         honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
b.         jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai;
c.         penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan.

Pasal 17
Tata cara pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Pasal 18
Tata cara pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan belanja daerah yang diterima atau diperoleh pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI dan pensiunannya, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Pasal 19
(1)        Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri tersebut.
(2)        PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.

BAB VIII
TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN
YANG TIDAK MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK

Pasal 20
(1)        Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2)        Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3)        Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
(4)        Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

BAB IX
SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 21
(1)        PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
(2)        PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak.
(3)        Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK SERTA PENERIMA
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

Pasal 22
(1)        Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang belaku.
(2)        Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong Pajak pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
(3)        Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
(4)        Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
(5)        Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(6)        Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
(7)        Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
(8)        Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak.
(9)        Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 23
(1)        Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
(2)        Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24
Ketentuan mengenai pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi, dan contoh perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 25
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           31 Desember 2008

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 254/PMK.03/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PENETAPAN BAGIAN PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN DAN MINGGUAN SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN




MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN BAGIAN PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN DAN MINGGUAN SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1
Batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, sampai dengan jumlah Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan.

Pasal 2
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan atau dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.

Pasal 3
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghitungan Pajak Penghasilan bagi pegawai harian dan mingguan serta pegawai tidak tetap lainnya, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.03/2005 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           31 Desember 2008

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI















Tidak ada komentar:

Posting Komentar