PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 16/PMK.03/2010
TANGGAL 25 JANUARI 2010
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 68
Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua
yang Dibayarkan Sekaligus, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang
Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 68 TAHUN
2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang
Dibayarkan Sekaligus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5082);
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun
2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN
JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pegawai adalah orang pribadi dalam
negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang
dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan
dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun
secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana
pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada
orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
keadaan lain yang ditentukan.
8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon
yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi
kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja,
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana
Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan
badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh
pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
(3) Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun
yang dibayarkan secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pembayaran
sebanyak-banyaknya 20% (dua puluh persen) dari manfaat pensiun yang dibayarkan
secara sekaligus pada saat Pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal
dunia;
b. Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang
lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh
Menteri Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus;
c. pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada
perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat
final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terutang pada saat dilakukan
pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus.
Pasal 3
(1) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas jumlah kumulatif Uang
Pesangon yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Pasal 4
(1) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Pasal 5
(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada
tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan
kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Dalam hal Pegawai tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang
diterapkan terhadap Pegawai yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 6
(1) Dalam
hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang
Pesangon.
(2) Atas pengalihan Uang Pesangon kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara sekaligus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat
final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipotong oleh pemberi kerja.
(4) Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai,
tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pasal 7
(1) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(2) Atas pengalihan Uang Pesangon kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara bertahap atau
berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terutang Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai,
dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final oleh
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
Pasal 8
(1) Dalam hal terjadi pengalihan Uang
Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun
membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima
hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.
(2) Atas pengalihan Uang Manfaat Pensiun
kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang Pajak Penghasilan Pasal 21
yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja
atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
(4) Pada saat perusahaan asuransi jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Manfaat Pensiun kepada Pegawai,
tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pasal 9
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung,
memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua untuk setiap Masa Pajak.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong
oleh Pemotong Pajak untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah
Masa Pajak berakhir.
(3) Pemotong Pajak wajib melaporkan
pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak
yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar, paling lama
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(4) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan batas akhir
pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
(5) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat
dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(6) Kewajiban menghitung, memotong,
menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban
memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tetap dilakukan
terhadap Pegawai yang dikenai tarif pemotongan sebesar 0% (nol persen).
(7) Apabila dalam 1 (satu) Masa Pajak,
kepada satu Pegawai dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan,
bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dan ayat (6) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) Masa Pajak.
Pasal 10
Dengan
berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21
atas Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun atau Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun
atau Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang
diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan
pembayarannya dilakukan sejak tanggal 16 November 2009, berlaku ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan
Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
2. Tata Cara pengenaan Pajak Penghasilan
Pasal 21 sebagaimana tersebut pada angka 1, berlaku Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 112/KMK.03/2001 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua
atau Jaminan Hari Tua;
3. Saat diperolehnya penghasilan berupa
uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah pada saat
Pegawai berhenti bekerja.
Pasal 11
Tata cara
penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus dengan menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), sesuai contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 12
Pada saat
berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
112/KMK.03/2001 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan
Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan
Hari Tua, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 25 Januari 2010
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 25 Januari 2010
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 33
LAMPIRAN
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR /PMK.03/ TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
CONTOH PENGHITUNGAN
PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
BERUPA UANG PESANGON,
UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN
JAMINAN HARI TUA YANG
DIBAYARKAN SEKALIGUS
1. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
yang Dibayarkan sekaligus
Pirman
Nurjaman bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Asgar Manah sejak tahun 1980. PT
Asgar Manah telah mengikutkan program pensiun untuk seluruh pegawainya dengan
membentuk Dana Pensiun PT Asgar Manah. Pada bulan Januari 2010, Pirman Nurjaman
terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menerima pembayaran Uang Pesangon
sebesar Rp600.000.000,00 dari PT Asgar Manah.
Selain
itu, Pirman Nurjaman berhak atas manfaat pensiun sebesar Rp 300.000.000,00 dari
Dana Pensiun PT Asgar Manah. Pirman Nurjaman meminta pembayaran sekaligus atas
manfaat pensiun sebesar 20% dari manfaat pensiun dan sisanya (80% dari manfaat
pensiun) dibayarkan secara bulanan. Dana Pensiun PT Asgar Manah membayarkan
Uang Manfat Pensiun yang dibayarkan sekaligus sebesar 20% x Rp300.000.000,00 =
Rp 60.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 yang
terutang atas Uang Pesangon:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp
0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp400.000.000,00 = Rp
60.000.000,00
25% x Rp100.000.000,00 = Rp
25.000.000,00
----------------------
(+)
Jumlah Rp
87.500.000,00
Penghitungan
PPh Pasal 21 yang terutang atas 20% dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara
sekaligus:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp10.000.000,00 = Rp 500.000,00
----------------------
(+)
Jumlah Rp 500.000,00
Sedangkan
penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pembayaran 80% dari manfaat
pensiun yang dibayarkan secara bulanan berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
2. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas
Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Bertahap
Apabila
PT Asgar Manah melakukan pembayaran Uang Pesangon kepada Pirman Nurjaman secara
bertahap dengan jadwal pembayaran sebagai berikut:
a. Bulan
Januari 2010 Rp240.000.000,00
b. Bulan
Januari 2011 Rp120.000.000,00
c. Bulan
Juli 2011 Rp120.000.000,00
d. Bulan
Januari 2012 Rp120.000.000,00
maka Penghitungan PPh Pasal 21 yang
terutang:
a. Bulan
Januari 2010:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp
0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp140.000.000,00 = Rp21.000.000,00
----------------------
(+)
Rp23.500.000,00
b. Bulan
Januari 2011:
15% x Rp120.000.000,00 = Rp18.000.000,00
c. Bulan
Juli 2011:
15% x Rp120.000.000,00 = Rp18.000.000,00
d. Bulan
Januari 2012:
Oleh
karena pembayaran Uang Pesangon sudah memasuki tahun ketiga maka tarif PPh
Pasal 21 untuk Uang Pesangon yang dibayarkan pada bulan Januari 2012 adalah
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pemotongan
PPh 21 pada bulan Januari 2012 tidak bersifat Final.
Penghitungan PPh Pasal
21 untuk Bulan Januari 2012:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp70.000.000,00 = Rp10.500.000,00
----------------------
(+)
Jumlah Rp13.000.000,00
_____________________________________________________________________________________
Salinan
sesuai dengan aslinya, MENTERI
KEUANGAN,
Kepala
Biro Umum ttd
u.b. SRI
MULYANI INDRAWATI
Kepala
Bagian T.U. Departemen
ttd
Antonius
Suharto
NIP
060041107
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR 39/PJ/2008
TANGGAL 6 OKTOBER 2008
TENTANG
SURAT PEMBERITAHUAN
TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN 2008 BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
Bahwa
dalam rangka memberi kepastian hukum serta meningkatkan pelayanan dan kemudahan
kepada Wajib Pajak perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2008 Beserta
Petunjuk Pengisiannya;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 TAHUN 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan,
Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 TAHUN 2008 BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA.
Pasal 1
Setiap
Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat Pemotong Pajak terdaftar.
Pasal 2
Formulir
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 beserta Petunjuk Pengisiannya untuk Tahun 2008 adalah sebagaimana
tercantum dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 3
Pada saat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-81/PJ./2007 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Orang Pribadi, dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Pasal 21 Tahun 2007 beserta Petunjuk Pengisiannya, tetap berlaku sepanjang
digunakan untuk pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun
2007.
Pasal 4
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 6 Oktober 2008
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN
NASUTION
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 43/PMK.03/2009
TANGGAL 3 MARET 2009
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA
TERTENTU
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2009 beserta Penjelasannya diatur bahwa dalam keadaan
darurat, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) yang dituangkan dalam Kesimpulan Rapat Kerja Panitia
Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah berupa
penetapan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya atau pengeluaran melebihi
pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2009;
b. bahwa dalam rangka mengurangi dampak
krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan
untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja, Pemerintah telah
mengusulkan kepada DPR-RI upaya mengatasi dampak krisis global melalui program
stimulus fiskal;
c. bahwa berdasarkan Kesimpulan Rapat
Kerja Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah pada tanggal 23 dan 24 Februari
2009 dengan mendasarkan pada ketentuan sebagaimana tersebut pada huruf a,
DPR-RI telah menyetujui penetapan pagu anggaran dalam rangka pemberian stimulus
fiskal berupa Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah sesuai
usulan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan
Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4920);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS
PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU.
Pasal 1
Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah ditetapkan paling banyak
sebesar pagu anggaran Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2009 dan perubahannya.
Pasal 2
Pajak
Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah diberikan kepada pekerja yang
bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan
jumlah penghasilan bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih
dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam satu bulan.
Pasal 3
Kategori
usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kategori usaha pertanian termasuk
perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
b. kategori usaha perikanan; dan
c. kategori usaha industri pengolahan,
yang
rinciannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan
ini.
Pasal 4
Pajak
Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada
saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 sebesar Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan
pekerja.
Pasal 5
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21
ditanggung Pemerintah atas penghasilan pekerja pada pemberi kerja yang berusaha
pada kategori usaha tertentu, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 6
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan
tanggal 31 Desember 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 3 Maret 2009
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 49/PMK.03/2009
TANGGAL 18 MARET 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 43/PMK.03/2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL
21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak khususnya pekerja untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah hanya diberikan
kepada pekerja yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang
Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada
Kategori Usaha Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4920);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2009 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas
Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
43/PMK.03/2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS
PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU.
Pasal I
Di antara
Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 2A
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah diberikan kepada pekerja yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Masa Pajak Juni 2009, sedangkan mulai Masa
Pajak Juli 2009 hanya diberikan kepada pekerja yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21
Ditanggung Pemerintah yang diterima pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebesar pajak terutang berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak sebesar 20% lebih tinggi
bagi pekerja yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3) Dalam hal setelah Masa Pajak Juni 2009
pekerja belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, Pajak Penghasilan Pasal 21
Ditanggung Pemerintah hanya diberikan sejak Masa Pajak setelah pekerja yang
bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal II
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 18 Maret 2009
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 68 TAHUN 2009
TANGGAL 16 NOPEMBER 2009
TENTANG
TARIF PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21
ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan
Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1903
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA
UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA
YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pegawai adalah orang pribadi dalam
negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang
dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan
berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan
dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun
secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana
pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada
orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan
yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau
keadaan lain yang ditentukan.
8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon
yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi
kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja,
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana
Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan
badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau
seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
kalender.
Pasal 3
(1) Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai
dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
(2) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai
dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
(3) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang
Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(4) Dalam hal terjadi pengalihan Uang
Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun
membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima
hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.
Pasal 4
Tarif
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan
sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 5
Tarif
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas Rp50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 6
(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada
tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan
kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Pemotong Pajak wajib menghitung,
memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua.
(2) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat
dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(3) Kewajiban menghitung, memotong,
menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban
memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan
terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol
persen).
Pasal 8
(1) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon
dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan
pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat
pengalihan Uang Pesangon.
(2) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon
dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan
pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3), pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
pengalihan Uang Pesangon tersebut.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
atas Uang Pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai.
Pasal 9
Dalam hal
terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
pada saat pembelian anuitas seumur hidup.
Pasal 10
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 11
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21
atas uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jaminan hari tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini dan pembayarannya dilakukan setelah Peraturan
Pemerintah ini berlaku, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN
2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
Pasal 12
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 149 TAHUN 2000
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang
Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4067), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Rupublik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 16 November 2009
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 16 November 2009
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 169
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009
TENTANG
TARIF PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG
MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG
DIBAYARKAN SEKALIGUS
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu
dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, dan Jaminan Hari Tua yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah
nomor 149 TAHUN 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua,
atau Jaminan Hari Tua.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat
(5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda
dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Materi pokok yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat
final, penetapan besaran tarif pajak, dan pemotongan terhadap penghasilan
berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan
Hari Tua.
Penghasilan berupa Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin
yang diterima sebelumnya. Dengan penerapan tarif progresif yang lebih rendah
dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka manfaat yang djperoleh menjadi
lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian
hukum.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Karena
alasan keuangan, pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam
beberapa kali pembayaran. Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang
dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara
sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.
Pasal 3
Ayat (1)
Pada
dasarnya kewajiban pembayaran Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada
pegawainya pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya,
kewajiban pembayaran Uang Pesangon tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja melalui pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau
secara bertahap atau berkala.
Ayat (2)
Apabila
pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang
Pesangon, sehingga pemberi kerja sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.
Ayat (3)
Dalam
hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka
Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja
tidak mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat
pengalihan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Dengan
memperhatikan bahwa besarnya Uang Pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan
besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan
keadilan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan
tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh
perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa
Uang Pesangon dengan jumlah Rp175.000.000,00.
Penghasilan bruto Rp
175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 terutang:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp
0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00
(+)
--------------------------
Rp13.750.000,00
Dalam
hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam
beberapa kali pembayaran, misalnya:
a. Bulan Desember 2009 Rp 50.000.000,00
b. Bulan April 2010 Rp 125.000.000,00 (+)
-----------------------------
Jumlah Rp
175.000.000,00
Perhitungan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai
satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 yang harus dipotong:
Bulan Desember 2009:
Jumlah penghasilan bruto Rp 50.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 terutang:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp0,00
Bulan April 2010:
Jumlah penghasilan bruto Rp125.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 terutang:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500,000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00 (+)
--------------------------
Jumlah Rp
13.750.000,00
Jumlah
seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp0,00 + Rp 13.750.000,00 =
Rp13.750.000,00.
Pasal 5
Berdasarkan
pertimbangan bahwa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari
Tua yang dibayarkan sekaligus merupakan nilai tunai atas Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala untuk
jangka waktu yang cukup lama, maka penghasilan yang diterima sekaligus tersebut
pada dasarnya penghasilan yang seharusnya diterima untuk beberapa tahun pajak.
Dengan memperhatikan besarnya Uang Manfaat Pensiun yang berlaku saat ini pada
umumnya, maka penghasilan sekaligus tersebut jika dialokasikan dalam beberapa
tahun masih berlaku tarif terendah yaitu sebesar 5% (lima persen). Ketentuan
ini diberikan untuk memberikan keadilan, kemudahan, kesederhanaan, dan
kepastian hukum bagi penerima pensiun yang sudah masuk dalam usia tidak
produktif.
Untuk
memberikan perlakuan yang sama dengan Uang Pesangon, maka atas jumlah sampai
dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 0% (nol person).
Contoh
perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp150.000.000,00 adalah:
Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus Rp150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 yang terutang:
0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
= --------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Dalam hal jumlah
pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa
kali pembayaran, misalnya:
Bulan Desember 2009
sebesar Rp 50.000.000,00
Bulan Februari 2010
sebesar Rp 100.000.000,00
---------------------
Jumlah Rp
150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal
21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:
Bulan Desember 2009:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
Bulan Februari 2010:
5% x Rp100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
--------------------
Jumlah = Rp5.000.000,00
Pasal 6
Ayat (1)
Misalkan
pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau
Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan
bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib
Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan
tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penerima
penghasilan sebagaimana contoh penjelasan ayat (1) yang tidak mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar
120% x 5% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dibuat meskipun jumlah Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang nihil, karena dikenai tarif 0% (nol persen).
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5082
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 80 TAHUN 2010
TANGGAL 20 DESEMBER 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu mengatur kembali tarif
pemotongan dan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara,
Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994
tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan
yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat
(5) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pemotongan dan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya
disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
5. Anggota Tentara Nasional Indonesia,
yang selanjutnya disebut Anggota TNI adalah anggota TNI sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
6. Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang selanjutnya disebut anggota POLRI adalah anggota POLRI
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
7. Pensiunan adalah orang pribadi yang
menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan yang dilakukan di masa lalu
sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI, termasuk janda
atau duda dan/atau anak-anaknya.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 2
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau
APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
(2) Penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat
Negara, untuk:
1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya
tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) imbalan tetap sejenisnya
yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI,
untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan
tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(3) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah penghasilan bruto
setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Pasal 3
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan pada APBN atau
APBD dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua
puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
(2) Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21
sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong dari
penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya.
(3) Pemotongan atas tambahan Pajak
Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dibayarkan.
Pasal 4
(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang
atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN
atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau
imbalan lain tersebut.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat final dengan tarif:
a. sebesar
0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah
bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari
jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV,
Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira
Tinggi, dan Pensiunannya.
Pasal 5
Dalam hal
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai pimpinan
dan/atau anggota pada lembaga yang tidak termasuk sebagai Pejabat Negara, atas
penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya
sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut dikenai pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
tidak ditanggung oleh Pemerintah.
Pasal 6
(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain
yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final di luar penghasilan tetap
dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut
digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi yang
bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7
Ketentuan
mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi
beban APBN atau APBD diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN
1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,
Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas
Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3577), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 20 Desember 2010
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 20 Desember 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 140
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2010
TENTANG
TARIF PEMOTONGAN DAN
PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG MENJADI BEBAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
ATAU ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN
1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu
dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai tarif pemotongan dan pengenaan pajak
penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara
Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang sebelumnya
diatur dengan Peraturan Pemerintah nomor 45 TAHUN 1994 tentang Pajak
Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang
Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 21 ayat (5) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif
pemotongan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain
yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Terhadap
penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain
yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan dalam APBN atau
APBD yang besarnya ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, yang
diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang ditanggung oleh
pemerintah.
Sedangkan
atas penghasilan selain gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan
lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau imbalan tetap sejenisnya
berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN
atau APBD, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
Pengenaan
tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final kepada golongan
kepangkatan tertentu bagi PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan Pensiunannya
merupakan insentif.
Pengenaan
pajak yang bersifat final dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan
kesederhanaan administrasi bagi fiskus, bendahara pemerintah sebagai pemotong
pajak dan Wajib Pajak orang pribadi yang dipotong pajak.
Dalam
rangka melaksanakan kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak maka bagi
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang tidak
memiliki NPWP, atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang
pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau
imbalan tetap sejenisnya dikenai pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih
tinggi yang dipotong dari penghasilan yang diterima setiap bulan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penghasilan
yang diberikan dalam mata uang asing yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan termasuk dalam pengertian penghasilan tetap dan
teratur setiap bulan.
Apabila
PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya merangkap juga sebagai
Pejabat Negara, maka penghasilan yang diterima baik berupa gaji atau uang
pensiun dan tunjangan lain sebagai PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan
Pensiunannya, maupun penghasilan berupa gaji kehormatan dan tunjangan lainnya
atau imbalan tetap sejenisnya selaku Pejabat Negara, pajak Penghasilan Pasal 21
yang terutang juga ditanggung oleh pemerintah selaku pemberi kerja.
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk
dalam pengertian ‘gaji dan tunjangan lain’ adalah gaji dan tunjangan ke-13.
Huruf b
Lihat
penjelasan huruf a.
Huruf c
Termasuk
dalam pengertian ‘uang pensiun dan tunjangan lain’ adalah uang pensiun dan
tunjangan ke-13.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Kepemilikan
Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI, dan Pensiunannya antara lain dengan menunjukkan kartu Nomor
Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan ‘bendahara pemerintah’ adalah bendahara pengeluaran pada
kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Penghasilan
Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang menerima
penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
(misalnya penghasilan berupa laba usaha, royalti, atau keuntungan penjualan
aktiva) digabung dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam
perhitungan Pajak Penghasilan yang terutang yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5174
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 139/PMK.03/2010
TANGGAL 11 AGUSTUS 2010
TENTANG
PENENTUAN KEMBALI
BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI
PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK
DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18
ayat (3d) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 diatur bahwa besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan
perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau
sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam
bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18
ayat (3e) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penentuan
Kembali Besarnya Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dari Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan
Lain yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PENENTUAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DARI PEMBERI KERJA YANG MEMILIKI
HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PERUSAHAAN LAIN YANG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK
BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Hubungan Istimewa adalah hubungan
istimewa sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
atau hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara
mitra yang berlaku.
Pasal 2
(1) Besarnya penghasilan yang diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan,
atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan
di luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan
seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya
kepada perusahaan di luar negeri tersebut.
(2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai dari perusahaan di luar
negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja.
(3) Biaya atau pengeluaran lainnya yang
dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan luar negeri
yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa biaya atau pengeluaran
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.
Pasal 3
(1) Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan kembali dengan memperhatikan
tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang bersangkutan.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah penjumlahan dari penghasilan Wajib Pajak yang diterima di
Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar negeri.
(3) Besarnya selisih penghasilan setelah
ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi
jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi
kerja kepada perusahaan di luar negeri yang terdapat Hubungan Istimewa.
(4) Atas penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang sudah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menjadi dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(5) Dalam rangka menentukan kembali besarnya
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pedoman standar gaji
karyawan asing.
Pasal 4
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 11 Agustus 2010
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 11 Agustus 2010
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 385
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 209/PMK.07/2010
TANGGAL 29 NOPEMBER 2010
TENTANG
ALOKASI DEFINITIF
DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2010
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25
dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal
21 Tahun Anggaran 2010;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 4893);
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
3. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5075) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5132);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun
2010;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke
Daerah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN
PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2010.
Pasal 1
(1) Penerimaan Negara dari Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan
PPh Pasal 21 dibagihasilkan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) Bagian daerah dari Dana Bagi Hasil PPh
Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8%
(delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 12%
(dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) Bagian daerah kabupaten/kota dana bagi
hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8,4% (delapan empat persepuluh persen)
untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar;
b. 3,6% (tiga enam persepuluh persen)
untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian
yang sama besar.
Pasal 2
Alokasi
Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21
Tahun Anggaran 2010 untuk masing-masing daerah didasarkan atas prognosa
realisasi penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2010.
Pasal 3
(1) Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh
Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 adalah
sebesar Rp10.928.026.055.002,00 (sepuluh triliun sembilan ratus dua puluh
delapan miliar dua puluh enam juta lima puluh lima ribu dua rupiah) dengan
rincian sebagai berikut:
a. Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal
29 WPOPDN sebesar Rp618.152.094.787,00 (enam ratus delapan belas miliar seratus
lima puluh dua juta sembilan puluh empat ribu tujuh ratus delapan puluh tujuh
rupiah); dan
b. Dana Bagi Hasil PPh Pasal 21 sebesar
Rp10.309.873.960.215,00 (sepuluh triliun tiga ratus sembilan miliar delapan
ratus tujuh puluh tiga juta sembilan ratus enam puluh ribu dua ratus lima belas
rupiah).
(2) Rincian Alokasi Definitif Dana Bagi
Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 untuk masing-masing
daerah Tahun Anggaran 2010 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 4
Alokasi
Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21
Tahun Anggaran 2010 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan dasar
penyaluran Triwulan IV.
Pasal 5
Penyaluran
Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan
sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan dan
pertanggungjawaban anggaran transfer ke daerah.
Pasal 6
Pada saat
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
203/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan
Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.07/2010, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 7
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 29 November 2010
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 29 November 2010
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 576
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 229/PMK.07/2010
TANGGAL 20 DESEMBER 2010
TENTANG
ALOKASI SEMENTARA
DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2011
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran
2011;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5167);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun
2010;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke
Daerah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN
PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2011.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya
disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
2. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, yang selanjutnya disebut PPh WPOPDN,
adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak
Penghasilan yang berlaku kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku.
3. Pajak Penghasilan Pasal 21, yang
selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah Pajak atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang
berlaku.
Pasal 2
(1) Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan
PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8%
(delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 12%
(dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibagi dengan rincian sebagai
berikut:
a. 8,4% (delapan empat persepuluh persen)
untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar; dan
b. 3,6% (tiga enam persepuluh persen)
untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian
yang sama besar.
Pasal 3
(1) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2011 merupakan perkiraan.
(2) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2011 didasarkan atas rencana
penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan
PPh Pasal 21 sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011.
(3) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 masing-masing daerah Tahun Anggaran 2011 adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 4
Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp13.131.019.999.471,00 (tiga belas
triliun seratus tiga puluh satu miliar sembilan belas juta sembilan ratus
sembilan puluh sembilan ribu empat ratus tujuh puluh satu rupiah) dengan
rincian sebagai berikut:
a. DBH PPh WPOPDN sebesar
Rp715.119.999.732,00 (tujuh ratus lima belas miliar seratus sembilan belas juta
sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh dua rupiah);
b. DBH PPh Pasal 21 sebesar
Rp12.415.899.999.739,00 (dua belas triliun empat ratus lima belas miliar
delapan ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh
sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh sembilan rupiah).
Pasal 5
(1) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 digunakan
sebagai dasar penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011.
(2) Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal
21 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
Alokasi
definitif DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Pasal 7
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 20 Desember 2010
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 20 Desember 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 633
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 250/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
BESARNYA BIAYA
JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun Yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG BESARNYA BIAYA JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN YANG DAPAT
DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN.
Pasal 1
(1) Besarnya biaya jabatan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak
Penghasilan bagi pegawai tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya
Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp.500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) sebulan.
(2) Besarnya biaya pensiun yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak
Penghasilan bagi pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya
Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00
(dua ratus ribu rupiah) sebulan.
Pasal 2
Pada saat
berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
521/KMK.04/1998 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 3
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 252/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN
PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN
KEGIATAN ORANG PRIBADI
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pajak Penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pajak Penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk
bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak
atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
5. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
6. Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib
Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun
kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.
7. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari Pemotong
PPh Pasal 21 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai,
termasuk penerima pensiun.
8. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dari
Pemotong PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau
kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan
pegawai, termasuk penerima pensiun.
9. Pegawai adalah orang pribadi yang
bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak
tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik
secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam
jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan
berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang
ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam
jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
10. Pegawai tetap adalah pegawai yang
menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur,
termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur
terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai
yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang
pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.
11. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas
adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang
bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil
pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta
oleh pemberi kerja.
12. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai
adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja
lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan,
jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan
dari pemberi penghasilan.
13. Peserta kegiatan adalah orang pribadi
yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang,
seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan
lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya
dalam kegiatan tersebut.
14. Penerima pensiun adalah orang pribadi
atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang
dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
15. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat
Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala
macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
16. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat
Tidak Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang
bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya,
antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem,
gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.
17. Upah harian adalah upah atau imbalan
yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara
harian.
18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan
yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara
mingguan.
19. Upah satuan adalah upah atau imbalan
yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
20. Upah borongan adalah upah atau imbalan
yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
21. Imbalan kepada bukan pegawai adalah
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan
kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang
dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis
lainnya.
22. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan
kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan
sejenis lainnya.
23. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember
atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
BAB II
PEMOTONG PPh PASAL 21
DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 2
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26, meliputi:
a. pemberi kerja yang terdiri dari orang
pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit
yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah
termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi
TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga
negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun
dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
1. honorarium atau pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan
untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium atau pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta
pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan
pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan,
orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang
membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja
yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a adalah:
a. kantor
perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak
Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
c. pemberi kerja orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan
orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam
rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Dalam hal organisasi internasional tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi
internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan
pemotongan pajak.
BAB III
PENERIMA PENGHASILAN
YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN ATAU PPh PASAL 26
Pasal 3
Penerima
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah orang
pribadi yang merupakan:
a. pegawai;
b. penerima uang pesangon, pensiun atau
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli
warisnya;
c. bukan pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara
lain meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan,
notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi,
pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film,
foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat,
pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang,
peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang
termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika,
fotografi ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. agen
iklan;
8. pengawas
atau pengelola proyek;
9. pembawa
pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas
penjaja barang dagangan;
11. petugas
dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel
marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
d. peserta kegiatan yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan,
antara lain meliputi:
1. peserta perlombaan dalam segala bidang,
antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan,
teknologi dan perlombaan lainnya;
2. peserta
rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. peserta atau anggota dalam suatu
kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
4. peserta
pendidikan, pelatihan, dan magang;
5. peserta
kegiatan lainnya.
Pasal 4
Tidak
termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:
a. pejabat perwakilan diplomatik dan
konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama
mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b. pejabat perwakilan organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
BAB IV
PENGHASILAN YANG
DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 5
(1) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau
diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun
tidak teratur;
b. penghasilan yang diterima atau
diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan
sejenisnya;
c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan
hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara
sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
d. penghasilan pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah
borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e. imbalan kepada bukan pegawai, antara
lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam
bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan,
antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah
atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis
dengan nama apapun.
(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. bukan
Wajib Pajak;
b. Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Pasal 6
(1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
Pasal 7
(1) Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada
harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian
kenikmatan yang diberikan.
(2) Dalam hal penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh dalam mata uang asing,
penghitungan PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar
(kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran
penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
Pasal 8
(1) Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. pembayaran manfaat atau santunan
asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran
tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
dibayar oleh pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang
berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
e. beasiswa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh
pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam
bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
BAB V
DASAR PENGENAAN DAN
PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU
PPh PASAL 26
Pasal 9
(1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal
21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan
Kena Pajak, yang berlaku bagi:
1. pegawai tetap;
2. penerima pensiun berkala;
3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya
dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1
(satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak
sendiri;
4. bukan pegawai, yang meliputi:
a) distributor multi level marketing atau
direct selling;
b) petugas dinas luar asuransi yang tidak
berstatus sebagai pegawai;
c) penjaja barang dagangan yang tidak
berstatus sebagai pegawai; dan/atau
d) penerima penghasilan bukan pegawai
lainnya yang menerima penghasilan dari Pemotong PPh Pasal 21 secara
berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian
penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang berlaku bagi
pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau
upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu)
bulan kalender belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak
sendiri.
c. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku
bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b.
(2) PTKP sebulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah PTKP dibagi 12 (dua belas).
(3) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal
26 adalah jumlah penghasilan bruto.
BAB VI
PENGURANGAN YANG
DIPERBOLEHKAN
Pasal 10
(1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh
Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
(2) Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai
berikut:
a. bagi pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala, sebesar penghasilan netto dikurangi PTKP;
b. bagi pegawai tidak tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 3, sebesar penghasilan bruto
dikurangi PTKP;
c. bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, sebesar penghasilan bruto dikurangi
PTKP yang dihitung secara bulanan.
(3) Besarnya penghasilan neto bagi pegawai
tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto
dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. iuran yang terkait dengan gaji yang
dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari
tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto bagi penerima
pensiun yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(5) Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. bagi
karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
b. bagi karyawati tidak kawin, sebesar
PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya.
(6) Dalam hal karyawati kawin dapat
menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat
serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau
memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri
ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya.
(7) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan
keadaan pada awal tahun kalender.
(8) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan
menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan
pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Atas penghasilan bagi pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP sebulan untuk
diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal
21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum
melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. dilakukan pemotongan PPh Pasal 21,
dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi bagian
penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan bagian penghasilan yang tidak
dilakukan pemotongan tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
(2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah
borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
(3) Dalam hal pegawai tidak tetap telah
memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender yang melebihi
PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri, maka jumlah yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
(4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang
sebenarnya.
(5) PTKP sehari sebagai dasar untuk
menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam
puluh) hari.
(6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di
bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan
hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang
dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan penyelenggara jaminan
sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 12
(1) Penerima penghasilan bukan pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh
pengurangan PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib
Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong
Pajak serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
(2) Untuk dapat memperoleh pengurangan PTKP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerima penghasilan bukan pegawai harus
menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus
menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat
nikah dan kartu keluarga.
BAB VII
TARIF PEMOTONGAN
PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal 13
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
dari:
a. pegawai
tetap;
b. penerima
pensiun yang dibayarkan secara bulanan;
c. pegawai tidak tetap atau tenaga kerja
lepas yang dibayarkan secara bulanan.
(2) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan
atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan yang
bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan
dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan
yang bersifat tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh
selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah
penghasilan yang bersifat tidak teratur.
(3) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. atas penghasilan yang bersifat teratur
adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (clua belas);
b. atas penghasilan yang bersifat tidak
teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan Pajak Penghasilan
yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a.
(4) Dalam hal pegawai tetap mempunyai
kewajiban pajak subjektif terhitung sejak awal tahun kelender dan mulai bekerja
setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi
kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai
bekerja.
(5) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus
dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang
terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau
bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa
sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
(6) Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak
subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak, perhitungan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan
kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun
pajak yang bersangkutan.
(7) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja
sebelum bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun
kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1
(satu) tahun pajak, maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut
dikembalikan kepada pegawai tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian
bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah
berhenti bekerja.
Pasal 14
(1) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang
penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto di atas bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP
yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan
kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
(2) Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif
dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang
disetahunkan.
(3) Besarnya batasan jumlah penghasilan
kumulatif dalam satu bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
disesuaikan sepanjang terdapat perubahan besarnya PTKP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 15
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto untuk setiap
pembayaran yang didasarkan pada penyelesaian suatu pekerjaan atau jasa yang
menurut maksudnya tidak bersifat berkesinambungan, yang diterima oleh bukan
pegawai;
b. jumlah bruto untuk setiap kali
pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta
kegiatan; atau
c. jumlah kumulatif penghasilan bruto
sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya bersifat
berkesinambungan, baik berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis atau
berdasarkan keadaan yang sebenarnya, yang diterima oleh bukan pegawai.
(2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif
Penghasilan Kena Pajak sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima
atau diperoleh bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
a angka 4, yang dihitung setiap bulan.
Pasal 16
Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas penghasilan bruto kumulatif berupa:
a. honorarium atau imbalan yang bersifat
tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
b. jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau
diperoleh mantan pegawai;
c. penarikan dana pensiun oleh peserta
program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan.
Pasal 17
Tata cara
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, yang dibayarkan
sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
tersendiri.
Pasal 18
Tata cara
pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan belanja daerah
yang diterima atau diperoleh pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota
TNI/POLRI dan pensiunannya, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Pasal 19
(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua
puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang
diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan
memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku
antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri
tersebut.
(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar
negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
BAB VIII
TARIF PEMOTONGAN PPh
PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN
YANG TIDAK MEMPUNYAI
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
Pasal 20
(1) Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong
PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan
PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh
persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang
bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang
bersifat tidak final.
(4) Dalam hal penerima penghasilan yang
telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh
Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21
yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
BAB IX
SAAT TERUTANG PPh
PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 21
(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada
saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa
pajak.
(3) Saat terutang untuk setiap masa pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran
atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN
PEMOTONG PAJAK SERTA PENERIMA
PENGHASILAN YANG
DIPOTONG PAJAK
Pasal 22
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri
ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang belaku.
(2) Pegawai, penerima pensiun berkala, serta
bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib
membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun
kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar
penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong Pajak pada saat mulai
bekerja atau mulai pensiun.
(3) Dalam hal terjadi perubahan tanggungan
keluarga, pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan
baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
(4) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
(5) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar
pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa
pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Ketentuan mengenai kewajiban untuk
melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan
kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal jumlah
pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
(7) Dalam hal dalam suatu bulan terjadi
kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang
terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
(8) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan memberikan
bukti pemotongan tersebut kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak.
(9) Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 23
(1) Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong
merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan
untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang telah
dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak,
PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Ketentuan
mengenai pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
orang pribadi, dan contoh perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 25
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 254/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PENETAPAN BAGIAN
PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN DAN MINGGUAN SERTA
PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya
yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN BAGIAN PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN
PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN DAN MINGGUAN SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA
YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
Batas
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian dan mingguan,
serta pegawai tidak tetap lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, sampai
dengan jumlah Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari tidak
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto
dimaksud jumlahnya melebihi Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu
rupiah) sebulan atau dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.
Pasal 3
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 tidak berlaku atas penghasilan
berupa honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas
dinas luar asuransi.
Pasal 4
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penghitungan Pajak Penghasilan bagi pegawai
harian dan mingguan serta pegawai tidak tetap lainnya, diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5
Pada saat
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
138/PMK.03/2005 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya
Yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 6
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar