PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 31 TAHUN 2011
TANGGAL 6 JUNI 2011
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN
PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), serta Pasal 5 PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa
Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, berdasarkan Putusan Mahkamah
Agung dinyatakan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Pasal
4 ayat (1) dan ayat (2) huruf c UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum;
b. bahwa PERATURAN PEMERINTAH nomor 17
TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif
Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa tidak dapat dilaksanakan
dengan tidak berlakunya Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
serta Pasal 5; dan
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pencabutan PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak
Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa;
Mengingat :
Pasal 5
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK
BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA.
Pasal 1
PERATURAN
PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 34, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4983) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Terhadap
Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif
berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut
berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
Diperdagangkan Di Bursa, dikembalikan dan pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang.
Pasal 3
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 6 Juni 2011
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 6 Juni 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 60
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2011
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN
PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009
TENTANG PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
TRANSAKSI DERIVATIF
BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG
DIPERDAGANGKAN DI
BURSA
I. UMUM
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
Register Perkara Nomor 22P/HUM/2009 terkait dengan permohonan hak uji materiil
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka Yang
Diperdagangkan Di Bursa, Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
serta Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka
Yang Diperdagangkan Di Bursa bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in
casu Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan oleh karena itu tidak sah dan tidak berlaku umum.
Berdasarkan hal tersebut perlu
dibentuk Peraturan Pemerintah tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif
Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
Terhadap Pajak Penghasilan yang
bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak
berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut berdasarkan
PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan Di Bursa,
dikembalikan dan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan mekanisme pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5220
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 80/PMK.03/2009
TANGGAL 22 APRIL 2009
TENTANG
SISA LEBIH YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG
PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, YANG DIKECUALIKAN DARI
OBJEK PAJAK PENGHASILAN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh
Badan Lembaga atau Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang
Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 85 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU
LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
(1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan
bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak
Penghasilan.
(2) Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak
Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri,
dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau
lembaga nirlaba.
(3) Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya.
(4) Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Pembelian atau pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah
sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut;
b. pengadaan
sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan;
c. pembelian/pembangunan asrama mahasiswa,
rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang
berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan formal.
Pasal 2
(1) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut
diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak
berikutnya, setelah jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut ditambah dengan
sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk
pengadaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4),
sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan
ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 3
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengakuan sisa lebih yang diterima atau
diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek Pajak
Penghasilan, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya
laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 22 April 2009
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 94 TAHUN 2010
TANGGAL 30 DESEMBER 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukannya perubahan
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik lndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
BAB II
OBJEK PAJAK
Pasal 2
Objek
pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang
dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang
saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal,
sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham
bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian
kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 3
Dalam hal
terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa
selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan
penghasilan bagi perusahaan.
Pasal 4
(1) Agio saham yang timbul dari selisih
lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak termasuk objek
pajak.
(2) Disagio saham yang timbul dari selisih
lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan
pengurang dari penghasilan bruto.
Pasal 5
(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh
oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif termasuk keuntungan
atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk
keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan Subjek Pajak
luar negeri
Pasal 6
Pembagian
laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba
termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek
pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan
objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan
audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara
penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu
dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a. usaha;
b. pekerjaan; atau
c. kepemilikan atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila
terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila
terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan
kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak
pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c
terjadi apabila terdapat:
a. penyertaan modal secara langsung atau
tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b. hubungan penguasaan secara langsung
atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
BAB III
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK
Pasal 9
(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung
dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
tidak
diakui sebagai penghasilan atau biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs
mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berkaitan
langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
diakui
sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Pasal 10
(1) Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan
tersebut:
a. benar-benar telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang
berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehubungan dengan
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta
biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus
dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui
penyusutan atau amortisasi.
Pasal 11
(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang
berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil,
dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga
pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur
lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil,
dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga
pokok penjualan pada saat ternak dijual.
Pasal 12
(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham
yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan
apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana
milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh
pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak
dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman
sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh
Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang
bunga dengan tingkat suku bunga wajar.
Pasal 13
Pengeluaran
dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final;
dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang
Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh
pemberi penghasilan.
BAB IV
PELUNASAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK
SENDIRI
Pasal 14
Orang
pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari
badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. melaksanakan sendiri penghitungan dan
pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran
Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan.
BAB V
PELUNASAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN
Pasal 15
(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan yang
bersangkutan,
tergantung
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh
Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya
penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan
yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya
penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan
yang bersangkutan,
tergantung
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Pasal 16
Dalam hal
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan atau
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun
pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang telah dipotong
tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.
Pasal 17
Dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan
dan biaya dalam hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran
royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 3
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong
oleh pihak yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan
Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 19
Dalam hal
penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 20
Pajak
Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23
ayat (1a) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan setelah Wajib
Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 21
(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak
berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian
fiskal; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar
lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya
hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 22
Dalam
menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang
Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian fiskal tidak dapat
dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan
Pajak Penghasilan.
Pasal 23
(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap
memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan yang terutang
berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian
pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN
INFORMASI
Pasal 24
(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan Subjek Pajak:
a. dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari negara mitra persetujuan
penghindaran pajak berganda,
yang
dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 25
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat
melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka pertukaran informasi,
prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian
pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan bersama, dan pelaksanaan
bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 26
(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan
yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan
perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan
berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai
dengan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH
DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU
Pasal 27
(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan
pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan
yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan
fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka
penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
proporsional.
Pasal 28
(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan
tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun
Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa
rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun
pajak sebelum perubahan tahun buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan
untuk Bagian Tahun Pajak dan Tahun Pajak berikutnya.
BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN
ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN
BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Pasal 29
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan
penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan
fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat
diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi
nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru,
serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Pasal 30
Ketentuan
mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 31
Penghitungan
pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 32
Penghitungan
pajak dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009,
bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009,
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 33
Fasilitas
perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum
tanggal 1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu
fasilitas perpajakan tersebut.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 138 TAHUN
2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 35
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 30 Desember 2010
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 30 Desember 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 94 TAHUN 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN
DALAM TAHUN BERJALAN
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi yang terkait dengan
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan.
Peraturan Pemerintah ini, sebagai
pengganti Peraturan Pemerintah nomor 138 TAHUN 2000 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan,
mengatur ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini,
diatur juga ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas.
Pasal 2
Pemberian
saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian
saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari
setoran modal pemegang saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.
Oleh
karena itu apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang
menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang
diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian
pembagian laba atau dividen. Namun demikian apabila saham bonus dimaksud
diberikan kepada pemegang saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah
nilai seluruh saham (termasuk saham bonus), yang diperoleh atau dimilikinya
lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal
dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian pembagian
laba atau dividen.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Contoh:
PT A
(belum Go Public) yang mempunyai modal dasar sebesar Rp4.500.000.000,00
(terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan telah disetor penuh melakukan
ekspansi yang sumber pendanaannya diperoleh dengan jalan meningkatkan modal
saham dengan menjual saham baru sejumlah 500.000 lembar (nilai nominal Rp
1000,00/lembar) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000 lembar saham x
Rp1.500,00) sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal sebesar Rp
250.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan sebagai agio
saham oleh PT A.
Atas agio
saham tersebut bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A.
Ayat (2)
Contoh:
Seperti
pada ayat (1), namun nilai penjualan 500.000 lembar saham baru tersebut sebesar
Rp400.000.000,00. Atas selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham
sebesar Rp 100.000.000,00 (500.000 lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut
dibukukan sebagai disagio saham oleh PT A.
Atas
disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A.
Pasal 5
Cukup
jelas.
Pasal 6
Cukup
jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Karakteristik
Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs,
penyisihan aktiva, dan penyusutan aktiva tetap.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “pihak-pihak yang bersangkutan” adalah Wajib Pajak pemberi dan
Wajib Pajak penerima bantuan atau, sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan
atau harta hibahan.
Ayat (2)
Transaksi
yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian,
penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Ayat (3)
Contoh
hubungan berkenaan dengan pekerjaan:
1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan
C merupakan pegawai PT X. Dalam hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau
Tuan C terdapat hubungan pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C
menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena
antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan
langsung.
2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas
luar asuransi dari perusahaan asuransi PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus
sebagai pegawai PT X, namun antara PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan
pekerjaan tidak langsung. Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X
atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak
Penghasilan bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai
hubungan pekerjaan tidak langsung.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Contoh:
1. Penguasaan manajemen secara langsung:
Tuan
A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah komisaris X. Selain
itu, Tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan Tuan B sebagai komisaris di PT
Y.
Tuan
B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai komisaris PT AA. Tuan
B Junior adalah anak dari Tuan B yang menjadi direktur PT X dan komisaris PT Y.
Dalam
contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan penguasaan manajemen
secara langsung, karena Tuan B selain bekerja sebagai direktur di PT X juga
bekerja sebagai komisaris PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai
komisaris di PT X juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima
bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan
tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Demikian
pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara
langsung, karena terdapat hubungan keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja
sebagai komisaris di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai
direktur di PT AA.
Jika
PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan
atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Jika
Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta hibahan dari Tuan B
(ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta hibahan tersebut dikecualikan
dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
a Undang-Undang Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan
manajemen adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B (ayah) dan Tuan
B Junior (anak).
Dengan
demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi antara entitas yang
pengurusnya sama atau memiliki hubungan keluarga. Sedangkan antara pengurus
dalam entitas tersebut tidak memilki hubungan penguasaan.
2. Penguasaan
manajemen secara tidak langsung:
Tuan O
adalah direktur PT AB, dan Tuan P sebagai komisaris PT AB. Tuan O dan Tuan P
nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya
walaupun Tuan O dan/atau Tuan tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus
yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan PT X.
Dalam
contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan penguasaan manajemen
secara tidak langsung. Jika PT X menerima bantuan atau sumbangan dari PT AB
atau sebaliknya maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi
pihak yang menerima.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
PT A
bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa apartemen
tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan invoice setiap tanggal 1.
Pada
tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000 kepada
penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp9.000,00 per 1 US$.
Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A mengakui penghasilan atas sewa
apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$ 1,000 x Rp9.000,00).
Pada
tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen. Pada tanggal
tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$, sehingga nilai sewa
yang dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$ 1,000 x Rp8.700,00).
Atas
perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal pembayaran timbul
kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00)
x US$ 1,000)).
Atas
kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A karena
berasal dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak Penghasilan bersifat
final.
Ayat (3)
Contoh:
PT A yang
bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan September 2010 mendapatkan
pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang digunakan masing-masing sebesar US$
9,000,000 untuk membangun apartemen, dan sebesar US$ 1,000,000 untuk membeli
alat transportasi yang akan dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.
Atas
keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal dari
pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai penghasilan atau
biaya karena:
a. tidak berkaitan langsung dengan usaha
PT A di bidang penyewaan apartemen yang atas penghasilannya dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final; dan
b. merupakan pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya berupa usaha jasa
angkutan yang atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 10
Cukup
jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “biaya pengembangan” adalah seluruh pengeluaran yang terkait
dengan tanaman industri termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran
tanaman sampai dijual.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “biaya pemeliharaan” adalah seluruh pengeluaran yang terkait
dengan ternak termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak
sampai dijual.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “tingkat suku bunga wajar” adalah tingkat suku bunga yang berlaku
yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman (best practice)
jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 13
Huruf a
Biaya
yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik
penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau pembayaran Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
maupun penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
Undang-Undang Pajak Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun
norma penghitungan yang berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu,
biaya-biaya tersebut tidak boleh lagi dikurangkan dari penghasilan bruto
lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan berdasarkan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Huruf b
Cukup
jelas.
Pasal 14
Kantor
perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan
Subjek Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Oleh karena itu, orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh
penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan pada
badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi batas Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri Pajak
Penghasilan yang terutang.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Saat
terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti : dividen) dan
jatuh tempo (seperti : bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur (seperti : royalti, imbalan jasa teknik atau jasa
manajemen atau jasa lainnya).
Yang
dimaksud dengan “saat disediakan untuk dibayarkan”:
a. untuk perusahaan yang tidak go public,
adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada
saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian
pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan
dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23
Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan
dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan
yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah
pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen
(recording date).
Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur
dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah
para pemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut
diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.
Yang
dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.
Ayat (4)
Saat
terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan
jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur (seperti : royalti, imbalan jasa teknik atau jasa
manajemen atau jasa lainnya).
Yang
dimaksud dengan “saat disediakan untuk dibayarkan”:
a. untuk perusahaan yang tidak go public,
adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada
saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian
pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan
dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan
dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan
yang bersangkutan.
b. untuk
perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang
saham yang berhak atas dividen (recording date).
Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur
dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah
para pemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut
diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.
Yang
dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.
Pasal 16
Contoh:
Pada
bulan Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar
Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10% (sepuluh persen) per tahun.
Jatuh tempo pembayaran bunga setiap tanggal l April dan 1 Oktober.
Pada 1
April 2010, PT B membayar bunga sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga
pinjaman ini, PT A telah mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar
Rp25.000.000,00 (bunga selama Oktober s.d Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT
B melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak
Penghasilan pada saat jatuh tempo pembayaran pada tanggal 1 April 2010 sebesar Rp7.500.000,00
(15% x Rp50.000.000,00) dan kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.
Atas
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut,
dapat dikreditkan oleh PT A pada tahun 2010.
Pasal 17
Pada
dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat asas
berdasarkan prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan penghasilan
(matching of costs againts revenues). Namun, dalam hal-hal tertentu karena
kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak dapat mengatur saat pengakuan
penghasilan dan biaya yang berbeda.
Yang
dimaksud dengan “dalam hal-hal tertentu” antara lain:
a. saat
pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam rangka
menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijakan
Pemerintah; atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya
bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.
Pasal 18
Cukup
jelas.
Pasal 19
Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang bergerak di
bidang usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Dalam hal tidak diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri yang menyatakan bahwa atas penghasilan tersebut dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final, penghasilan tersebut dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 20
Contoh:
Tuan A,
subjek pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), memperoleh penghasilan sebesar
Rp20.000.000,00 sehubungan dengan jasa konsultasi yang dilakukannya pada tahun
2009. Oleh karena Tuan A belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut
dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan
oleh pemberi penghasilan dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen)
daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan
NPWP, sehingga Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00 (5% x 120% x Rp20.000.000,00).
Pada
tahun 2011, Tuan A mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP dan melaporkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak
2009 dan 2010. Atas kredit pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong pada
tahun 2009 tersebut, Tuan A hanya dapat mengkreditkannya dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak
2009.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan
Jasa Konstruksi yang atas penghasilannya semata-mata dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final melakukan impor barang yang digunakan untuk kegiatan jasa
konstruksi. Atas impor barang tersebut, perusahaan jasa konstruksi dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 22
Contoh:
Penghasilan
neto komersial bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar
Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian fiskal positif sebesar Rp1.500.000.000,00.
Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan dalam tahun
2009 sebesar Rp7.500.000.000,00.
Penghitungan
Pajak Penghasilan Pasal 17 dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:
Uraian
|
PPh
Pasal 17
|
PPh
Pasal 26 (4)
|
Penghasilan
Neto Komersial
|
16.000.000.000,00
|
|
Penyesuaian
Fiskal Positif
|
1.500.000.000,00
|
|
Penghasilan Neto Fiskal
|
17.500.000.000,00
|
|
Kompensasi
Kerugian
|
7.500.000.000,00
|
|
Penghasilan
Kena Pajak
|
10.000.000.000,00
|
|
PPh
Badan Terutang 28%
|
2.800.000.000,00
|
|
PKP
setelah dikurangi pajak
|
7.200.000.000,00
|
|
PPh
Pasal 26 (4) = 20%
|
1.440.000.000,00
|
Dalam
menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar
Rp7.500.000.000,00 tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang
Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak (Rp7.200.000.000,00).
Pasal 23
Ayat (1)
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan.
adalah
paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Dengan demikian
pelunasan Pajak Penghasilan yang terhutang harus dilakukan sebelum batas akhir
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan “Surat Keterangan Domisili” atau yang disebut dengan certificate of
resident adalah surat keterangan yang diterbitkan dan/atau disahkan oleh
pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat
yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 25
Ayat
(1)
Pertukaran
informasi (exchange of information), prosedur persetujuan bersama (mutual
agreement procedures), dan bantuan penagihan (assistance in collection of
taxes) merupakan bagian dari kesepakatan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 26
Cukup
jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pembukuan
secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan dan
biaya-biaya antara kegiatan.
usaha
yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan kegiatan usaha yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final maupun atas penerimaan penghasilan bruto yang
merupakan objek pajak dan yang bukan merupakan objek pajak, serta penghasilan
dan biaya-biaya dari usaha yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang
mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh
huruf c:
PT A
bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta
mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka
pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.
Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah nomor 1 TAHUN 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
Salah
satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan
amortisasi yang dipercepat.
Dalam hal
ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas
aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan
yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).
Ayat (2)
Biaya
bersama adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan dan sekaligus
berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya.
Biaya-biaya
bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan
penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dan peraturan pelaksanaannya.
Contoh:
PT A
bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto
yang terdiri dari:
a. penghasilan dari usaha yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final Rp
300.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final Rp 200.000.000,00
------------------------
Jumlah
penghasilan bruto Rp
500.000.000,00
Apabila
biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan setelah dilakukan penyesuaian
fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), maka
biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan adalah sebesar : 2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00
Pasal 28
Ayat (1)
Contoh:
Wajib
Pajak dengan tahun buku dari 1 Juli 2009·sampai dengan 30 Juni 2010 (tahun buku
2009) melakukan perubahan tahun bukunya yang telah disetujui Direktur Jenderal
Pajak menjadi 1 Oktober 2009 sampai dengan 30 September 2010 (tahun buku 2010).
Dalam hal ini, penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010
sampai dengan 30 September 2010 harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010 tersendiri.
Ayat (2)
Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang
tidak termasuk dalam tahun buku yang baru, dapat dikompensasikan dengan
penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
tahun.
Contoh:
Tahun
buku PT X adalah Oktober sampai dengan September. PT X berencana mengubah tahun
buku menjadi Januari sampai dengan Desember mulai Tahun Pajak 2010. PT X
memiliki rugi fiskal yang berasal dari Tahun Pajak 2007
Untuk
sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007 (Oktober 2006 sampai dengan September 2007)
dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 (lima) tahun, yaitu mulai Tahun Pajak 2008 sampai dengan 2011
sebagai berikut:
Tahun
Pajak I : 2008 (Oktober 2007 sampai dengan September 2008).
Tahun
Pajak II : 2009 (Oktober 2008 sampai dengan September 2009).
Tahun Pajak III : Bagian Tahun
Pajak 2009 (Oktober 2009 sampai dengan Desember 2009).
Tahun
Pajak IV : 2010 (Januari 2010 sampai dengan Desember 2010).
Tahun
Pajak V : 2011 (Januari 2011 sampai dengan Desember 2011).
Pasal 29
Cukup
jelas.
Pasal 30
Cukup
jelas.
Pasal 31
Contoh:
PT A
mempergunakan tahun buku dari 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 untuk
Tahun Pajak 2008. Dalam rangka menghitung kewajiban pajaknya pada akhir tahun
(tahun buku), PT A wajib menghitungnya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal 32
PT A
mempergunakan tahun buku dari 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Juli 2009 untuk
Tahun Pajak 2009. Dalam rangka menghitung kewajiban pajak dalam tahun berjalan
melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain (Pajak Penghasilan
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Pajak
Penghasilan serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri (Pajak Penghasilan
Pasal 25) sampai dengan Desember 2008, PT A wajib menghitungnya berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal 33
Cukup
jelas.
Pasal 34
Cukup
jelas.
Pasal 35
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5183
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 136/PMK.03/2011
TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN PAJAK
PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 2 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap
jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
meliputi antar lain perbankan syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan
Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Perbankan Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN
2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun
2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA
PERBANKAN SYARIAH.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
2. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.
3. Simpanan adalah dana yang dipercayakan
oleh nasabah kepada Bank Syariah dan/atau unit usaha syariah berdasarkan akad
wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah dalam
bentuk giro, tabungan, deposito atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum
Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
5. Nasabah Investor adalah nasabah yang
menempatkan dananya di bank syariah dan/ atau unit usaha syariah dalam bentuk
investasi berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan
nasabah yang bersangkutan.
6. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang
menempatkan dananya di bank syariah dan/atau unit usaha syariah dalam bentuk
Simpanan berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan
nasabah yang bersangkutan.
7. Nasabah Penerima Fasilitas adalah
nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu,
berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 2
Ketentuan
mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari
kegiatan usaha Perbankan Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 3
(1) Penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diterima atau diperoleh
Perbankan Syariah, termasuk bonus, bagi hasil, margin keuntungan, dan imbalan
lainnya merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2) Bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan
yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah dari kegiatan/transaksi Nasabah
Penerima Fasilitas merupakan objek Pajak Penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
Perbankan Syariah selain dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
Nasabah Penerima Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai Pajak
Penghasilan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai transaksi antara
Perbankan Syariah dengan Nasabah Penerima Fasilitas.
Pasal 4
(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama dan
dalam bentuk apapun termasuk bonus, bagi hasil, dan penghasilan lainnya atas:
a. dana yang dipercayakan atau
ditempatkan; dan
b. dana yang ditempatkan di luar negeri
melalui Bank Syariah atau unit usaha syariah yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang Bank Syariah luar negeri yang berkedudukan
di Indonesia,
dikenai
Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh
Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama dan
dalam bentuk apapun selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 5
(1) Perbankan Syariah dapat membebankan
biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan syarat sesuai dengan:
a. ketentuan yang diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk bonus, bagi hasil, dan imbalan
lainnya yang dibayarkan atau terutang oleh Perbankan Syariah kepada Nasabah
Penyimpan dan Nasabah Investor kecuali biaya penyusutan dalam rangka pembiayaan
dengan akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik; dan
b. jumlah yang diperjanjikan dalam akad
berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Pembebanan biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan memperhatikan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 6
Dalam hal
terdapat transaksi pengalihan harta atau sewa harta yang wajib dilakukan untuk
memenuhi Prinsip Syariah yang mendasari kegiatan pembiayaan oleh Perbankan
Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak
ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah tidak termasuk
dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta
sebagaimana dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap
pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Penerima Fasilitas,
yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pasal 7
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 19 Agustus 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 509
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 137/PMK.03/2011
TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN PAJAK
PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 2 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap
jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
meliputi antara lain jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah
lainnya;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan
Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun
2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA
PEMBIAYAAN SYARIAH.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
2. Perusahaan Syariah yang selanjutnya
disebut Perusahaan adalah lembaga keuangan di luar Bank yang melakukan kegiatan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum
Islam dalam kegiatan dari usaha Perusahaan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Ijarah adalah akad penyaluran dana
untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa
(mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan
barang itu sendiri.
5. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad
penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai
pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta'jir) disertai opsi pemindahan hak
milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
6. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan
kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal
yang boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).
7. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk
pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada
pembeli dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih sebagai
laba.
8. Salam adalah akad pembiayaan untuk
pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu
dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak.
9. lstishna’ adalah akad pembiayaan untuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustahni’) dan penjual (pembuat,
shani’) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.
10. Mudharabah adalah kegiatan pendanaan
yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain yang
bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang dana
(shahibul maal) membiayai 100% (seratus persen) modal kegiatan pembiayaan untuk
proyek yang tidak ditentukan oleh Perusahaan (Mudharabah Mutlaqah) atau untuk
proyek yang ditentukan Perusahaan (Mudharabah Muqayyadah), dan keuntungan usaha
dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
11. Mudharabah Musytarakah adalah kegiatan
pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak
lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang
dana (shahibul maal) dan Perusahaan selaku pengelola dana (mudharib) turut
menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
12. Musyarakah adalah kegiatan pendanaan
yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain untuk
usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
Pasal 2
(1) Ketentuan usaha pembiayaan yang
dilakukan oleh Perusahaan meliputi:
a. Sewa Guna Usaha, yang dilakukan
berdasarkan Ijarah atau Ijarah Muntahiyah Bittamlik.
b. Anjak Piutang, yang dilakukan
berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
c. Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan
berdasarkan Murabahah, Salam, atau lstishna’.
d. Usaha Kartu Kredit yang dilakukan
sesuai dengan Prinsip Syariah.
e. Kegiatan pembiayaan lainnya yang
dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan
berdasarkan prinsip Ijarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama
dengan kegiatan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
(3) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan
berdasarkan prinsip Ijarah Muntahiyah Bittamlik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi
(financial lease).
Pasal 3
Ketentuan
mengenai penghasilan, biaya dan pemotongan atau pemungutan pajak dari kegiatan
usaha pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dilakukan Perusahaan
berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Perusahaan dari:
a. Sewa Guna Usaha yang dilakukan
berdasarkan Ijarah, dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan atas sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease); dan
b. Sewa Guna Usaha yang dilakukan
berdasarkan Ijarah Muntahiyah Bittamlik dikenai Pajak Penghasilan atas sewa
guna usaha dengan hak opsi (financial lease).
(2) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Perusahaan dari:
a. kegiatan usaha anjak piutang yang
dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah berupa keuntungan atau imbalan;
dan
b. kegiatan pembiayaan konsumen yang
dilakukan berdasarkan akad Murahabah, Salam, atau lstishna’ berupa margin
keuntungan atau laba, dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan
Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Perusahaan dari kegiatan usaha kartu kredit yang dilakukan sesuai
dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk
apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Perusahaan dari kegiatan usaha pembiayaan lainnya yang dilakukan
sesuai dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam
bentuk apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 5
Pengenaan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penyandang dana (shohibul
maal) dari kegiatan pendanaan pada Perusahaan dengan akad Mudharabah,
Mudharabah Musytarakah, atau Musyarakah berupa keuntungan dan/atau bagi hasil,
dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan
berupa bunga.
Pasal 6
Perusahaan
dapat membebankan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai dengan:
a. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 dan
Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk keuntungan dan/atau bagi
hasil yang dibayarkan atau terutang oleh Perusahaan kepada penyandang dana
(shohibul maal); dan
b. Jumlah yang diperjanjikan dalam akad
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 7
Dalam hal
terdapat transaksi pengalihan harta atau sewa harta yang wajib dilakukan untuk
memenuhi Prinsip Syariah yang mendasari kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak
ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah dalam rangka
kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan tidak termasuk dalam pengertian pengalihan
harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta
sebagaimana dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap
pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Perusahaan, yang
dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
Pasal 8
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 19 Agustus 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERlTA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 510
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 234/PMK.03/2009
TANGGAL 29 DESEMBER 2009
TENTANG
BIDANG PENANAMAN
MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG
DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian
hukum mengenai penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun pada
bidang-bidang tertentu yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, perlu
mengatur kembali mengenai bidang-bidang penanaman modal tertentu yang
memberikan penghasilan kepada dana pensiun yang dikecualikan sebagai objek
Pajak Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
4 ayat (3) huruf h Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bidang
Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang
Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun
2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN
PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK
PENGHASILAN.
Pasal 1
Penghasilan
yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan dari penanaman modal berupa:
a. bunga, diskonto, dan imbalan dari
deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia;
b. bunga, diskonto, dan imbalan dari
obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat
Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya
pada bursa efek di Indonesia; atau
c. dividen dari saham pada perseroan
terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia,
dikecualikan
dari objek Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian objek Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.
Pasal 3
Pada saat
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
651/KMK.04/1994 tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan
Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak
Penghasilan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 29 Desember 2009
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 29 Desember 2009
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 529
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-44/PJ./2009
TANGGAL 24 JULI 2009
TENTANG
PELAKSANAAN PENGAKUAN
SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG
BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau
Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang
Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan,
perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pelaksanaan Pengakuan
Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang
Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan
yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau
Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan
dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak
Penghasilan.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PELAKSANAAN PENGAKUAN SISA LEBIH YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN
DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK
PENGHASILAN.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1. Sisa lebih adalah selisih dari seluruh
penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang
dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk
biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.
2. Biaya operasional sehari-hari badan
atau lembaga nirlaba adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak
langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan
yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri.
3. Badan atau lembaga nirlaba adalah badan
atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang
penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya.
4. Pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana adalah pembelian, pengadaan dan/atau pembangunan fisik sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang
meliputi:
a. pembelian atau pembangunan gedung dan
prasarana kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian
tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut;
b. pengadaan
sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; atau
c. pembelian atau pembangunan asrama
mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana
olahraga, sepanjang berada dilingkungan atau lokasi lembaga pendidikan formal.
Pasal 2
(1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun dan telah mendapat
pengesahan dari instansi yang membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek
Pajak Penghasilan.
(2) Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik
sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi
yang membidanginya.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama
sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
Pasal 3
Pelaksanaan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan sebagai
berikut:
a. sisa lebih yang diterima atau diperoleh
badan atau lembaga nirlaba setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan;
b. pembukuan atas penggunaan dana
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet akun
aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan serta mengkredit akun kas atau
utang dan akun modal badan atau lembaga nirlaba.
Pasal 4
(1) Atas pengeluaran untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan yang berasal dari sisa lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
tidak boleh dilakukan penyusutan sebagaimana diatur dalam Pasal 11
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Apabila pembangunan dan pengadaan sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai
dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan
sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Biaya bunga atas dana pinjaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terutang atau dibayarkan setelah
selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya
badan atau lembaga nirlaba.
(4) Dalam hal dana pinjaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih
dan dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), biaya bunga atas dana pinjaman
tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 5
Badan
atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib membuat:
a. pernyataan bahwa:
1. sisa lebih akan digunakan untuk
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, dan
2. sisa lebih yang tidak digunakan pada
tahun diperolehnya tersebut akan digunakan untuk pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut,
yang merupakan lampiran dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa
lebih;
b. pencatatan tersendiri atas sisa lebih
yang diterima dan yang digunakan setiap tahun; dan
c. laporan mengenai penyediaan dan
penggunaan sisa lebih dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Pasal 6
(1) Apabila setelah lewat jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) badan atau lembaga nirlaba tidak
menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan
dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka
waktu 4 (empat) tahun tersebut.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan
dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut.
(3) Apabila Badan atau lembaga nirlaba
menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan namun tidak
menyampaikan pemberitahuan rencana fisik sederhana dan rencana biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan tidak membuat pernyataan,
pencatatan dan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, sisa lebih tersebut
diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak
diperoleh sisa lebih tersebut.
(4) Pengenaan Pajak Penghasilan atas sisa
lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditambah
dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pasal 7
Pada saat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur
Jenderal Nomor KEP-87/PJ./1995 tentang Pengakuan Penghasilan dan Biaya atas
Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan Bagi Yayasan atau Organisasi
yang Sejenis yang Bergerak di Bidang Pendidikan, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 8
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 24 Juli 2009
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN
NASUTION
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-57/PJ/2010
TANGGAL 10 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA DAN
PROSEDUR PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN
ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI
BIDANG LAIN
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Tata Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan
Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau
Kegiatan Usaha di Bidang Lain;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik lndonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang lmpor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 427);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR PEMUNGUTAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN
KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN.
Pasal 1
Pemungut
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, adalah:
a. Bank
Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang:
b. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang;
c. bendahara pengeluaran untuk pembayaran
yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk
pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS);
e. Badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif,
yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil
produksinya di dalam negeri;
f. Produsen atau importir bahan bakar
minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas;
g. Industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk
oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
Pasal 2
(1) Badan usaha yang bergerak di bidang
usaha industri baja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah industri
baja yang merupakan industri hulu.
(2) Dalam hal badan usaha yang bergerak di
bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengolah atau
memproses lebih lanjut sebagian atau seluruh hasil produksinya menjadi produk
antara dan/atau produk hilir sehingga badan usaha tersebut melakukan kegiatan
produksi secara terintegrasi, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 dipungut atas
penjualan produk hulu, produk antara, dan produk hilir.
(3) Badan usaha yang bergerak di bidang
usaha industri otomotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah badan
usaha yang bergerak dalam bidang industri otomotif, termasuk ATPM (Agen Tunggal
Pemegang Merek), APM (Agen Pemegang Merek), dan importir umum kendaraan
bermotor.
(4) Pedagang pengumpul sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf g adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
a. mengumpulkan
hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan; dan
b. menjual hasil tersebut kepada badan
usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan.
Pasal 3
(1) Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dilakukan oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan badan
usaha yang melakukan penjualan hasil produksinya di dalam negeri, dengan surat
keputusan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(2) Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf g dilakukan oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan industri
dan eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul, dengan surat keputusan sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(3) Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
(4) Dalam hal badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dan huruf g tidak lagi ditunjuk sebagai Pemungut
Pajak Penghasilan Pasal 22, Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Penunjukan
Wajib Pajak sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan format
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III dan Lampiran lV Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 4
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh:
a. importir
yang bersangkutan; atau
b. Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai,
ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas pembelian barang oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf b, huruf c, dan huruf d wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta
ditandatangani oleh pemungut pajak.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, dan penjualan hasil
produksi industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif,
wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak.
(4) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan
usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak.
Pasal 5
(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22
oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 hurul b, huruf c, dan huruf d, menggunakan formulir
Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak.
(2) Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf e, huruf f, dan huruf g wajib menerbitkan Bukti Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. lembar
kesatu untuk Wajib Pajak (pembeli/pedagang pengumpul);
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan
bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan Pasal 22); dan
c. lembar
ketiga sebagai arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Dalam hal terjadi pengembalian barang
hasil produksi yang dibeli dari badan usaha sebagai Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e setelah Masa Pajak
terjadinya penjualan, pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada
Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22.
(2) Nota retur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dibuat dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian barang hasil
produksi.
(3) Nota retur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencantumkan:
a. nomor
dan tanggal nota retur;
b. nomor
dan tanggal Faktur Pembelian barang yang dikembalikan;
c. nama,
alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli;
d. nama,
alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22;
e. macam,
jenis, jumlah, dan harga barang yang dikembalikan;
f. Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas barang yang dikembalikan;
g. nama
dan tanda tangan pembeli.
(4) Nota retur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit dibuat dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
- lembar
pertama : untuk
Pemungut Pajak
- lembar kedua : untuk
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22
- lembar
ketiga : untuk arsip Wajib Pajak (pembeli)
(5) Pengembalian barang hasil produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak terjadi dalam hal:
a. dalam Masa Pajak terjadinya
pengembalian, atas pengembalian tersebut dilakukan penggantian dengan barang
yang sama, baik dalam jumlah fisik maupun harganya;
b. nota retur tidak selengkapnya
mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
c. nota retur tidak dibuat dalam Masa
Pajak terjadinya pengembalian barang hasil produksi.
(6) Dalam
hal nota retur telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5), Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dapat
dikurangkan dari Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dalam Masa Pajak
terjadinya pengembalian tersebut.
Pasal 7
Pada saat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku:
1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-32/PJ./1995 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri
Otomotif di Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-65/PJ./1995;
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-69/PJ./1995 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi lndustri
Kertas di Dalam Negeri;
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-01/PJ./1996 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri
Baja di Dalam Negeri;
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-401/PJ./2001 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri
Semen di Dalam Negeri;
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-417/PJ./2001 tentang Petunjuk Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat
dan Besarnya Pungutan, Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya;
6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-523/PJ/2001 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Serta
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Industri dan Eksportir yang Bergerak
Dalam Sektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan Perikanan, atas Pembelian
Bahan-Bahan Untuk Keperluan Industri atau Ekspor Mereka dari Pedagang Pengumpul
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2009,
dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 10 Desember 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
LAMPIRAN I PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-57/PJ/2010 TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS
PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG
LAIN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR PELAYANAN PAJAK …………………………….
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP-
TENTANG
PENUNJUKAN BADAN
USAHA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang : a. bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain, pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, adalah badan usaha yang bergerak dalam
bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri
otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan
hasil produksinya di dalam negeri;
b. bahwa Wajib Pajak Badan Dalam Negeri:
Nama : ………………..
NPWP : ………………..
memenuhi
syarat untuk ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 ayat (1)
huruf b Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Mengingat : 1. Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 427);
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-/PJ/2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang
Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : 1. Menunjuk:
Nama : …………………………………..
NPWP : …………………………………..
Alamat : …………………………………..
sebagai
pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, atas penjualan
semen/kertas/baja/otomotif *) di dalam negeri;
2. Penunjukan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan
di ………………
pada
tanggal ………………
a.n.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
KEPALA
KANTOR PELAYANAN PAJAK
……………………………..
NIP
Tembusan:
Kepala
Kanwil DJP …………..
LAMPIRAN II PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-57/PJ/2010 TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS
PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG
LAIN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR PELAYANAN
PAJAK …………………………
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP-
TENTANG
PENUNJUKAN INDUSTRI
DAN EKSPORTIR SEBAGAI PEMUNGUT
PAJAK PENGHASILAN
PASAL 22 ATAS PEMBELIAN BAHAN-BAHAN
UNTUK KEPERLUAN
INDUSTRI ATAU EKSPOR DARI PEDAGANG PENGUMPUL
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK.
Menimbang : a. bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf g Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain, pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, adalah industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk
oleh Kepala kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul;
b. bahwa Wajib Pajak Badan Dalam Negeri:
Nama : ……………………..
NPWP : ……………………..
memenuhi
syarat untuk ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 ayat (1)
huruf b Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Mengingat : 1. Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 427);
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-/PJ/2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang
Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : 1. Menunjuk:
Nama : …………………………………..
NPWP : …………………………………..
Alamat : …………………………………..
sebagai
pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, atas pembelian bahan-bahan
untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul;
2. Penunjukan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan
di ………………
pada
tanggal ………………
a.n.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
KEPALA
KANTOR PELAYANAN PAJAK
……………………………..
NIP
Tembusan:
Kepala
Kanwil DJP …………..
LAMPIRAN III
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-57/PJ/2010 TENTANG TATA CARA DAN
PROSEDUR PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN
ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI
BIDANG LAIN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR PELAYANAN
PAJAK …………………………
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP-
TENTANG
PENCABUTAN KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR …….
TENTANG PENUNJUKAN
BADAN USAHA
SEBAGAI PEMUNGUT
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK
Menimbang : a. bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain, pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, adalah badan usaha yang bergerak dalam
bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri
otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan
hasil produksinya di dalam negeri;
b. bahwa Wajib Pajak Badan Dalam Negeri:
Nama : ……………………..
NPWP : ……………………..
tidak
memenuhi syarat lagi untuk ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22
ayat (1) huruf b Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
Mengingat : 1. Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegitan di Bidang Impor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 427);
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-/PJ/2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang
Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : 1. Mencabut
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor ………………… tentang Penunjukan Badan Usaha
sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22.
2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan
di ………………
pada
tanggal ………………
a.n.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
KEPALA
KANTOR PELAYANAN PAJAK
……………………………..
NIP
Tembusan:
Kepala
Kanwil DJP …………..
LAMPIRAN IV PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-57/PJ/2010 TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS
PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG
LAIN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR PELAYANAN
PAJAK …………………………
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP-
TENTANG
PENCABUTAN KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR ………
TENTANG PENUNJUKAN
INDUSTRI DAN EKSPORTIR SEBAGAI PEMUNGUT
PAJAK PENGHASILAN
PASAL 22 ATAS PEMBELIAN BAHAN-BAHAN UNTUK KEPERLUAN INDUSTRI
ATAU EKSPOR DARI
PEDAGANG PENGUMPUL
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang : a. bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf g Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain, pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, adalah industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk
oleh Kepala kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul;
b. bahwa Wajib Pajak Badan Dalam Negeri:
Nama : ……………………..
NPWP : ……………………..
tidak
memenuhi syarat lagi untuk ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22
ayat (1) huruf b Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
Mengingat : 1. Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan
Usaha di Bidang Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 427);
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-/PJ/2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang
Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : 1. Mencabut
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor ………………… tentang Penunjukan Industri dan
Eksportir sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Pembelian
Bahan-bahan untuk Keperluan Industri atau Ekspor dari Pedagang Pengumpul;
2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan
di ………………
pada
tanggal ………………
a.n.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
KEPALA
KANTOR PELAYANAN PAJAK
……………………………..
NIP
Tembusan:
Kepala
Kanwil DJP …………..
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-59/PJ/2010
TANGGAL 15 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PELAPORAN
PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS DIBAYAR, DAN
PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH
WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI
SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak
Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan
Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek, perlu menetapkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan
Besarnya Pajak yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan
Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas
Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang
Menjual Sahamnya di Bursa Efek;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak
Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan
Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN,
PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK
SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM
NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA
YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK.
Pasal 1
Saat
diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada
badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa
efek adalah:
a. pada
bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban/penyampaian surat
pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut
untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. pada
bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri
tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan
tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian
surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Wajib
Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Wajib Pajak dalam
negeri yang:
a. memiliki penyertaan modal paling rendah
50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar
negeri; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak
dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.
Pasal 3
(1) Besarnya dividen yang wajib dihitung
oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar
jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding
dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku apabila sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1, badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi
hak Wajib Pajak.
(3) Laba setelah pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah laba usaha sesuai dengan laporan keuangan berdasarkan
standar akuntansi keuangan yang lazim berlaku di negara yang bersangkutan,
setelah dikurangi dengan pajak penghasilan yang terutang di negara tersebut.
(4) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atau pada ayat (2) wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh.
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atau pada ayat (2) wajib melampirkan laporan keuangan dari badan usaha
di luar negeri pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menerima pembagian dividen dalam jumlah yang
melebihi jumlah dividen yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1), atas kelebihan jumlah dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen
tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri
menerima pembagian dividen selain dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(3) Pembagian dividen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) termasuk pembagian dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang pada hakikatnya merupakan pembagian dividen yang tidak termasuk dalam
penghitungan penetapan saat diperolehnya dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
(1) Pajak atas dividen yang telah dibayar
atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Pengkreditan pajak yang dibayar atau
dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahun pajak
dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut.
Pasal 6
Dalam hal
belum ada pajak secara nyata dibayar di luar negeri atas dividen yang ditetapkan
saat perolehannya, maka pajak atas dividen tersebut tidak boleh diperhitungkan
sebagai kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dalam
SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak saat ditetapkan perolehan dividen.
Pasal 7
Contoh
pelaporan penerimaan dividen, penghitungan besarnya pajak yang harus dibayar,
dan pengkreditan pajak sehubungan dengan penetapan saat diperolehnya dividen
oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
Pasal 8
Pada saat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Tata Cara Pelaporan
Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya Pajak Yang Harus Dibayar, dan
Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri
Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek yang dilaksanakan sejak
tanggal 1 Januari 2009 berlaku ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 9
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 15 Desember 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
Lampiran I
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN,
PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK
SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM
NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA
YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK
CONTOH PELAPORAN
PEROLEHAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK
YANG HARUS DIBAYAR
DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN
PENETAPAN SAAT
DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI
ATAS PENYERTAAN MODAL
PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI
SELAIN BADAN USAHA
YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK
1. PT LE, Wajib Pajak dalam negeri
Indonesia pada tahun 2010 memiliki penyertaan modal sebesar 65% (enam puluh
lima persen) dari jumlah saham yang disetor pada atas BM Ltd di negara A yang
tidak menjual sahamnya di bursa efek. Atas penyertaan modal tersebut maka:
a. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
Apabila
Tahun Pajak BM Ltd di negara A adalah 1 Januari s.d. 31 Desember dan batas
waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan di
negara A paling lambat adalah 31 Mei, maka saat diperolehnya dividen adalah
pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat
pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan di negara A yaitu 30 September 2011.
b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan
Pelaporan
Tahun
pajak 2010, BM Ltd di negara A memperoleh laba setelah pajak sebesar US$
50.000,00 dan nilai tukar US$ terhadap Rupiah pada bulan September 2011
berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia adalah Rp9.200,00/US$, maka dividen
tahun 2010 yang ditetapkan telah diperoleh PT LE adalah 65% x US$ 50.000,00 =
US$32.500,00.
Penghasilan
dividen tersebut dibukukan PT LE sebesar US$32.500,00 x Rp9.200,00/US$ =
Rp299.000.000,00. Jumlah tersebut diperhitungkan dalam Penghasilan Kena Pajak
tahun 2011 sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2011.
c. Pengkreditan pajak luar negeri atas
dividen yang dibayarkan
1). Apabila dividen tersebut belum
dibayarkan oleh BM Ltd di negara A, maka tidak ada kredit pajak PPh Pasal 24
yang dapat diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
PT LE untuk tahun pajak 2011.
2). Apabila dividen tahun 2010 tersebut
diterima Wajib Pajak pada bulan September 2014 dengan jumlah sebesar
US$35.000,00, dan pembayaran dividen dalam bentuk lain untuk tahun pajak 2010
sebesar US$5.000,00, dengan bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen
tersebut masing-masing sebesar US$3.500,00 dan US$500,00 maka:
a). Atas selisih lebih dividen yang
dibayarkan tersebut merupakan penghasilan Wajib Pajak tahun 2014 yaitu
US35.000,00 - US$32.500,00 = US$2.500,00 atau sebesar Rp22.875.000,00 (misalnya
kurs tengah Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2014.
b). Atas dividen lainnya sebesar US$5.000,00
juga merupakan penghasilan tahun 2014 yaitu sebesar Rp45.750.000,00 (misalnya
kurs tengah Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2014.
c). Pajak yang dibayar atau dipotong atas
dividen di negara A tersebut sebesar US$3.500,00 dan US$500,00 diperhitungkan
sebagai kredit pajak luar negeri untuk tahun pajak 2014 sesuai dengan ketentuan
Pasal 24 ayat (6) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
2. PT DK, PT DS dan PT DT merupakan Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia yang pada tahun 2010 memiliki penyertaan modal
secara bersama-sama pada badan usaha BE Ltd di negara B yang tidak menjual
sahamnya di bursa efek masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen), 20%
(dua puluh persen), dan 15% (lima belas persen) dari jumlah saham yang disetor.
Apabila Tahun Pajak BE Ltd di negara B adalah 1 Januari s.d 31 Desember dan
tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak
Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat
pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan, maka atas penyertaan saham tersebut:
a. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
Karena
jumlah penyertaan modal PT DK, PT DS dan PT DT pada BE di negara B secara
bersama-sama melebihi 50% (lima puluh persen), maka penetapan saat diperolehnya
dividen atas laba setelah pajak BE di negara B tahun 2010, adalah pada bulan
ketujuh setelah tahun pajak berakhir, yaitu Juli 2011.
b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan
Pelaporan
Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh PT
DK, PT DS dan PT DT adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi hak
masing-masing perusahaan terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan
penyertaannya pada BE di negara B.
c. Kredit Pajak Luar Negeri atas Dividen
mengikuti contoh pada butir 1 di atas.
SURAT DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR
S-08/PJ.032/2008 TANGGAL 07 JANUARI 2008
TENTANG
PERMOHONAN PENEGASAN
ATAS PERLAKUAN PENGENAAN PPh PASAL 23 ATAS JASA PERIKLANAN BERDASARKAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-70/PJ/2007
Sehubungan
dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 11 Oktober 2007 perihal sebagaimana
tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam surat tersebut Saudara
mengemukakan bahwa:
a. Secara umum, anggota PPPI dalam
melakukan kegiatannya bisa memberikan beberapa jasa, antara lain pembuatan
materi iklan, pemasangan iklan di media dan pemberian konsultasi periklanan;
b. Dalam melaksanakan kegiatan pembuatan
materi iklan bisa dilakukan sendiri oleh perusahaan periklanan dan bisa diserahkan
ke pihak ketiga. Apabila materi iklan dibuat sendiri oleh perusahaan periklanan
maka seluruh penghasilan dari klien merupakan penghasilan perusahaan
periklanan, namun apabila pembuatan materi iklan diserahkan kepada pihak
ketiga, maka perusahaan periklanan hanya melakukan supervisi. Sehingga tagihan
perusahaan periklanan ke klien sebesar tagihan dari pihak ketiga ditambah
dengan fee jasa supervisi;
c. Dalam melaksanakan kegiatan pemasangan
iklan di media, penghasilan dari perusahaan periklanan adalah selisih tagihan
perusahaan periklanan ke pihak klien dikurangi dengan tagihan dari perusahaan
media;
d. Berdasarkan penjelasan di atas, Saudara
mohon agar dapat diberikan penegasan lebih lanjut mengenai teknis pemotongan
PPh Pasal 23 sesuai dengan PER-70/PJ/2007.
2. Ketentuan yang terkait:
a. Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, mengatur bahwa atas
penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas
persen) dari perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa toknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-70/PJ./2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, mengatur antara lain:
1) Pasal 1 ayat (1), atas penghasilan sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang
dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan
penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar;
2) Pasal 1 ayat (2), imbalan jasa yang
atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultansi dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 21;
3) Pasal 3, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tersebut;
4) Pasal 4, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersebut;
5) Lampiran II Romawi III angka 25, Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 10%
dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN.
3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas
dan memperhatikan isi surat Saudara dengan ini disampaikan sebagai berikut:
a. Teknis pemotongan PPh Pasal 23 sesuai
dengan PER-70/PJ/2007 adalah atas penghasilan sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang dibayarkan oleh
badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya atau oleh
orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong Pajak
Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto
oleh pihak yang wajib membayar, sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b
angka 1).
b. Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto
atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
serta imbalan jasa adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran
II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tersebut.
c. Dalam hal Saudara melakukan pembayaran
atas sewa atau penggunaan harta sebagaimana dimaksud dialam butir 2 huruf b
angka 3) atau pembayaran atas jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b
angka 4), maka atas pembayaran tersebut dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
peikiraan penghasilan neto.
Demikian
untuk dimaklumi.
A.n.
DIREKTUR JENDERAL
Pjs.
DIREKTUR
ttd
SUMIHAR
PETRUS TAMBUNAN
SURAT DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR
S-09/PJ.032/2008 TANGGAL 07 JANUARI 2008
TENTANG
PERMOHONAN PENEGASAN
TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR PER-70/PJ/2007
Sehubungan
dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 30 Mei 2007 perihal sebagaimana
tersebut diatas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam surat tersebut Saudara
mengemukakan:
a. Sehubungan dengan telah terbitnya
Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-70/PJ/2007, dalam pelaksanaannya telah
terjadi multi tafsir sebagai berikut:
1) Definisi “jasa perantara”
Karena
tidak ada definisi jasa perantara yang jelas, maka banyak jenis jasa yang
ditafsirkan sebagai jasa perantara, antara lain : jasa freight forwarding, tour
and travel agency, agen pelayaran dan agen advertensi.
2) Dasar Pengenaan Pajak
Lampiran
II menyatakan bahwa dasar pengenaan pajak adalah prosentase dari jumlah imbalan
jasa tidak termasuk PPN. Karena tidak ada contoh penghitungan, maka telah
terjadi multi tafsir dalam penerapannya.
3) Jasa Internet
Lampiran
II nomor 25 memasukkan “jasa penyediaan tempat dan/atau waktu di dalam media
massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi”, sebagai
jasa lain. Beberapa KPP menafsirkan “media lain untuk penyampai informasi”
termasuk jasa internet, padahal jumlah yang harus dipotong kecil-kecil sehingga
menimbulkan biaya administrasi yang tinggi.
b. Agar terdapat kepastian hukum dan
pemungutan pajak yang sesuai dengan situasi dunia usaha, Saudara mengusulkan
agar dapat diberikan penegasan sebagai berikut:
1) Definisi “jasa perantara”
Jasa
Perantara adalah jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang bertindak sebagai
perantara dalam perikatan perjanjian di bidang tertentu, dengan mendapat
imbalan balas jasa atau pembagian keuntungan dan bertindak atas perintah atau
atas nama orang-orang yang tidak ada ikatan kerja tetap dengan dirinya, selain
jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
2) Dasar Pengenaan Pajak
Yang
dimaksud dengan “Jumlah Imbalan Jasa tidak termasuk PPN” adalah Jumlah Tagihan
Bruto tidak termasuk PPN dari pemberi jasa dikurangi dengan pembayaran kepada
pihak ketiga
3) Jasa Internet
Yang
dimaksud dengan media lain untuk informasi tidak termasuk jasa internet.
2. Ketentuan yang terkait:
a. Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, antara lain diatur bahwa atas
penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas
persen) dan perkiraan penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-70/PJ./2007 tanggal 9 April 2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, antara
lain mengatur bahwa:
1) Pasal 1 ayat (1), Atas penghasilan sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang
dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan
penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar;
2) Pasal 1 ayat (2), Imbalan jasa yang
atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultasi dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tersebut, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21;
3) Pasal 3, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tersebut;
4) Pasal 4, Besarnya Perkiraan Penghasilan
Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersebut;
5) Pasal 5 ayat 1, Perkiraan Penghasilan
Neto adalah sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran I atau
lampiran II kolom (3) dikalikan dengan nilai sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta atau nilai imbalan jasa, tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
6) Lampiran II Romawi III angka 25, Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu di dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi dengan perkiraan penghasilan neto
sebesar 10% dari jumlah imbalan jasa tidak termasuk PPN;
3. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas,
dan memperhatikan isi Surat Saudara dengan ini kami sampaikan:
a. Terima kasih atas usulan yang telah
Saudara sampaikan dan akan dipelajari dengan seksama.
b. Perlu
kami sampaikan juga bahwa:
1) Dasar Pengenaan Pajak dalam
penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Perkiraan Penghasilan Neto yaitu
sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran I atau lampiran II
kolom Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 dikalikan dengan
nilai sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta atau nilai
imbalan jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagaimana
dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 5) di atas;
2) Sesuai dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007, jasa Internet, jasa Freight Forwarding,
Tour Travel Agency, agen Pelayaran dan Agen Advertensi tidak tercantum sebagai
jasa yang atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. Oleh karena itu atas
pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat
unsur sewa atau penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b
angka 3) atau jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 4).
Demikian
untuk dimaklumi.
A.n.
DIREKTUR JENDERAL
Pjs.
DIREKTUR
ttd
SUMIHAR
PETRUS TAMBUNAN
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-35/PJ/2010
TANGGAL 9 MARET 2010
TENTANG
PENGERTIAN SEWA DAN
PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA, JASA TEKNIK, JASA
MANAJEMEN, DAN JASA KONSULTAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1)
HURUF C UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
Sehubungan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 23
Undang-Undang tersebut antara lain mengatur bahwa penghasilan berupa sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, jasa teknik, jasa
manajemen, dan jasa konsultan, dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak
yang wajib membayarkan. Dalam rangka untuk memberikan kesamaan pemahaman atas
pengertian sewa dan penggunaan harta serta jasa-jasa tersebut, perlu diberikan
penegasan sebagai berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN
1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa atas penghasilan tersebut di
bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah,
subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan, sebesar
2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a merupakan
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk
memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat
digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.
3. Jasa teknik sebagaimana dimaksud butir
1 huruf b merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu
pengetahuan yang dapat meliputi:
a. pemberian informasi dalam pelaksanaan
suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan
gelombang seismik;
b. pemberian informasi dalam pembuatan
suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk
gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
c. pemberian informasi yang berkaitan
dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan
atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna
jasa.
4. Jasa manajemen sebagaimana dimaksud
butir 1 huruf b merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung
dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
5. Jasa konsultan sebagaimana dimaksud
butir 1 huruf b merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau
nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang
dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai
dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Demikian
untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 9 Maret 2010
DIREKTUR
JENDERAL
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-53/PJ/2009
TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
JUMLAH BRUTO
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008
Sehubungan
dengan banyaknya pertanyaan mengenai jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 mengatur
bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang
wajib membayarkan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
2. Yang dimaksud dengan jumlah bruto
sebagaimana dimaksud pada butir 1 adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
tidak termasuk:
a. pembayaran gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. pembayaran
atas pengadaan/pembelian barang atau material;
c. pembayaran kepada pihak kedua (sebagai
perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga;
d. pembayaran penggantian biaya
(reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata
telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
3. Jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam
butir 2 tidak berlaku:
a. atas
penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau
b. dalam hal penghasilan yang dibayarkan
sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 1, telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
4. Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
butir 2 harus dapat dibuktikan dengan:
a. kontrak kerja dan daftar pembayaran
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a;
b. faktur
pembelian barang atau material sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b;
c. faktur tagihan dari pihak ketiga
disertai dengan perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c;
d. faktur tagihan atau bukti pembayaran
yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud
dalam butir 2 huruf d.
5. Untuk memberikan kejelasan, contoh
penerapan jumlah bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah
sebagaimana terdapat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 25 Mei 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
LAMPIRAN:
SURAT
EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-53/PJ/2009 TENTANG JUMLAH BRUTO ATAS
IMBALAN JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH
BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008
1. PT Sumber Tenaga merupakan perusahaan
penyedia tenaga kerja. PT Sumber Tenaga mendapat kontrak dari PT Maju Terus
untuk menyediakan tenaga kerja pemasaran sebanyak 20 orang dengan mendapat
imbalan jasa sebesar Rp20.000.000,- Tenaga kerja tersebut selanjutnya menjadi
pegawai PT Maju Terus.
Atas pembayaran yang dilakukan PT
Maju Terus kepada PT Sumber Tenaga dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Maju Terus
sebesar:
2% x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
2. PT Aman Jaya merupakan perusahaan
penyedia tenaga kerja untuk keamanan (satpam). PT Aman Jaya mendapat kontrak
penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Dwi Makmur. Tenaga
kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Jaya. Dalam Kontrak
disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh PT Aman Jaya terdiri dari
gaji untuk 20 orang satpam per bulan sebesar Rp20.000.000,00 dan imbalan atas
jasa penyediaan satpam per bulan sebesar Rp2.000.000,-.
a. Rincian
tagihan PT Aman Jaya kepada PT Dwi Makmur:
Pembayaran gaji 20 orang
satpam ................... Rp20.000.000,-
Imbalan Jasa
.................................................. Rp 2.000.000,-
b. Atas pembayaran yang dilakukan PT Dwi
Makmur kepada PT Aman jaya dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Dwi Makmur sebesar:
2% x Rp2.000.000,- =
Rp40.000,-
c. Dalam hal tidak ada bukti pendukung
atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh
Pasal 23 adalah sebesar Rp22.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus
dipotong oleh PT Dwi Makmur atas pembayaran kepada PT Aman Jaya adalah sebesar:
2% x Rp22.000.000,- =
Rp440.000,-
3. PT Megah (pihak pertama) melakukan
kontrak dengan PT Satu Sarana selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua)
untuk membuat iklan sekaligus memasang iklan pada perusahaan media (pihak
ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp103.000.000,-.
a. Rincian
tagihan PT Satu Sarana kepada PT Megah adalah:
1) pembelian material untuk pembuatan
iklan ......................... Rp15.000.000,-
2) jasa konsultan (terkait pembuatan dan
pemasangan iklan).... Rp 5.000.000,-
3) Fee agen
........................................................................... Rp 3.000.000,-
4) biaya pemasangan iklan ke perusahaan
media……………………. Rp80.000.000,-
b. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan
PT Satu Sarana atas pembayaran jasa pemasangan iklan kepada perusahaan media
adalah sebesar:
2% x Rp80.000.000,- =
Rp1.600.000,-
c. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan
PT Megah atas pembayaran jasa konsultasi dan jasa keagenan kepada PT Satu
Sarana adalah sebesar:
1) 2% x Rp5.000.000,- = Rp100.000,- untuk
jasa konsultasi; dan
2) 2% x Rp3.000.000,- = Rp 60.000,- untuk
jasa keagenan
d. Dalam hal tidak ada bukti pendukung
atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh
Pasal 23 adalah sebesar Rp103.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus
dipotong oleh PT Megah atas pembayaran kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
2% x Rp103.000.000,- =
Rp2.060.000,-
4. PT Terang mengikat kontrak dengan PT
Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan
spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati
bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT Garmindo
akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut
adalah sebesar Rp25.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Garmindo
mengeluarkan biaya sebesar Rp5.000.000,- untuk bahan tambahan.
a. Rincian
tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
Biaya untuk bahan
tambahan ...................................... Rp
5.000.000,-
Imbalan Jasa
maklon.................................................. Rp25.000.000,-
b. Atas pembayaran yang dilakukan PT
Terang kepada PT Garmindo dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Terang sebesar:
2% x Rp25.000.000,- =
Rp500.000,-
c. Dalam hal tidak ada bukti pendukung
atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh
Pasal 23 adalah sebesar Rp30.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus
dipotong oleh PT Terang atas pembayaran kepada PT Garmindo adalah sebesar:
2% x Rp30.000.000,- =
Rp600.000,-
5. Untuk acara pembukaan cabang baru, PT
Abadi meminta CV Sedap yang bergerak di bidang pengadaan catering untuk
menyediakan makanan yang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama, dan
makanan penutup untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang disepakati untuk
pengadaan catering tersebut adalah Rp20.000.000,-. Atas pembayaran yang
dilakukan PT Abadi kepada CV Sedap dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Abadi sebesar:
2% x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
NIP
130605098
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut